Menangis tidak akan menyelesaikan apapun. Loretta tahu betul kenyataan itu. Tapi memangnya apa yang harus dia lakukan ketika semua hal terasa tidak adil untuknya? Dia hanya lelah. Dia terlalu lelah.
Bahkan untuk sekedar melindungi diri dari tumpukan salju yang jatuh dari ranting pohon ke atas kepalanya pun Loretta sudah tidak punya tenaga. Gadis berambut hitam tersebut menatap kosong ke arah langit gelap, matanya yang sembab terus memperhatikan gumpalan awan hitam yang menurunkan butir-butir salju.
Lampu jalan yang kerlap-kerlip karena sudah kehilangan daya juga tampak tidak menarik bagi Loretta. Karena di matanya semua memang tak memiliki warna. Terlalu polos, kosong, dan hampa.
Seperti itulah hidupnya.
Setelah menyingkirkan salju yang berhasil mendinginkan kepalanya, Loretta kembali melangkah. Kaki-kaki kurusnya terus berjalan lesu di sepanjang trotoar yang tertutupi salju, meninggalkan jejak pada warna putih di jalanan.
Entah sudah jam berapa sekarang, Loretta sama sekali tidak tahu. Yang pasti hari sudah gelap, suasana pun terlihat sangat sepi dan lengang.
Hanya ada Loretta di sana. Bersama seseorang yang sedari tadi mengikutinya tentu saja.
“Sudahlah, Steve. Berhenti mengikutiku,” ucapnya tiba-tiba. Hingga seseorang yang berjalan sepuluh meter di belakangnya terlonjak kaget.
Loretta menghentikan langkahnya lagi, lalu melirik pemuda berambut coklat itu melalui ekor matanya. “Tolong jangan campuri urusanku lagi,” pinta Loretta setengah memohon.
“Tapi-“
“Biarkan aku sendiri!” kali ini Loretta memaksa.
Dan Steve tidak punya pilihan lain selain mengangguk. Dia berjalan mendekati Loretta, lalu mengusap kepala gadis itu cukup lama. Memastikan bahwa keputusannya meninggalkan adik sepupunya ini bukanlah kesalahan.
“Please, be safe!” pesannya yang terdengar seperti peringatan bagi Loretta.
Sebagai balasan Loretta hanya mengangguk pelan. Setelahnya ia membiarkan Steve berlalu pergi meninggalkannya.
Meskipun rumah mereka bersebrangan dan Loretta bisa saja pulang ke rumah bersama Steve, dia tidak ingin melakukannya. Loretta hanya ingin sendiri. Untuk saat ini keheningan adalah teman paling cocok untuknya.
Pada akhirnya Loretta sendirian lagi malam itu. Berjalan gontai dengan mata yang terus memandangi langit malam sambil merenungi semua hal dalam hidupnya.
Mungkin memang terkesan tak bersyukur. Tapi Loretta tetap harus mengakui bahwa di hidupnya memang jarang sekali ada hal baik yang terjadi. Kemalangan seolah terus mengikutinya hingga saat ini.
Setibanya di depan rumah, Loretta langsung mendapati sesuatu yang mengganjal. Entah kenapa suasana rumahnya malam ini terasa begitu mencekam dan udara di sekitarnya terasa berat.
Dengan ragu ia memutar kenop pintu, lalu membukanya secara perlahan. Detik itu juga kepulangan Loretta langsung disambut oleh wajah frustasi sang ibu.
“Jude, ibu dipecat,” beritahu ibunya bahkan sebelum Loretta bertanya.
“Jadi sebaiknya kau bekerja dan berhenti sekolah agar bisa membantu ibu menafkahi keluarga.”
Seketika Loretta menahan nafas. Keringat tiba-tiba membasahi telapak tangannya padahal cuaca saat ini sangatlah dingin.
Setelah kejadian di sekolah, hal buruk apalagi yang harus dia terima?
Susah payah Loretta menarik napas panjang, berusaha agar tidak tumbang detik itu juga. “Lalu bagaimana dengan masa depanku?”.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oblivion : Step Into Classic Imperial Palace
FantasíaYang Loretta ingat, dia menangis di taman. Sendirian. Tapi kenapa saat dia membuka mata semuanya berubah, secara drastis. Loretta tentunya bingung setengah mati, semua orang bersikap aneh dan dia merasa asing. Kota tempat tinggalnya, kenapa berubah...