“Gambar yang bagus!”
Loretta yang tersentak langsung mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk. Kedua matanya seketika melebar tatkala mendapati Jimmie yang sedang menatapnya sambil tersenyum.
Tanpa bisa ia cegah, rona merah itu menjalar mewarnai kulit wajahnya yang pucat. Refleks Loretta mengalihkan pandangannya ke luar jendela, melihat badai salju di luar sana yang turun semakin lebat.
Saat ini, seluruh guru tengah menghadiri rapat. Badai salju yang tiba-tiba turun tampaknya menjadi masalah yang cukup serius. Karena jika badai terus berlangsung lebih lama, maka tak ada lagi alasan untuk menahan para murid tetap berada di sekolah.
Karena tidak ada guru yang mengawasi, suasana kelas jadi tidak karuan. Sebagian besar murid justru malah mengobrol dan bercanda. Tugas yang diberikan guru berkepala plontos hanyalah menjadi tulisan tak berarti.
Loretta sendiri bukan murid teladan yang akan langsung mengerjakan tugas dengan giat. Karena sisi introvert-nya yang enggan berbaur dengan gadis lain, ia pun menghabiskan waktu dengan menggambar.
Dan ditengah keasyikannya tiba-tiba Jimmie menginterupsi, memuji gambar Loretta. Mungkin ini sebuah kebetulan karena pemuda tersebut memang duduk tepat di depan Loretta. Jadi bukan hal yang mustahil bila ia melihat apa yang tengah dikerjakan oleh gadis berambut hitam itu.
Mungkin karena itu juga mereka jadi sering mengobrol berdua seperti ini.
“Apa kau tertarik dengan potongan rambut pendek? Karena kalau kuperhatikan sepertinya kau selalu menggambar perempuan dengan rambut pendek” Jimmie berucap, membuat Loretta mau tak mau harus kembali menatapnya.
Gadis tersebut mengangguk pelan. Sebenarnya di situasi seperti ini Loretta sangat gugup sampai-sampai dia tidak tahu harus bersikap seperti apa. Sebab, diperhatikan oleh Jimmie membuat Loretta salah tingkah, ia hanya takut tanpa ia sadari dia malah melakukan hal konyol. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa Loretta bayangkan.
Jimmie ikut mengangguk-anggukan kepalanya seolah mengerti alasan kenapa gambar Loretta selalu seperti itu. Dilihatnya gambar belum jadi milik Loretta lekat-lekat. Mengamati seorang gadis berambut pendek sebahu yang sedang tertunduk dengan ekspresi putus asa yang terlukis apik dalam kertas putih berukur A5 tersebut.
Dalam hati dia jadi bertanya-tanya kenapa ekspresi sang gadis yang digambarkan begitu sendu. Apakah itu menggambarkan suasana hati Loretta sekarang? Hm, entahlah. Jimmie ingin bertanya tapi ia ragu karena sepertinya hal ini lumayan privasi.
Perhatian Jimmie kini kembali pada Loretta yang juga tengah menatap ke arahnya dengan rona merah yang terlihat samar, sesuatu yang sama sekali tidak disadarinya. Pemuda tersebut justru malah menatap Loretta dengan pandangan menilai, tidak sadar sedikitpun pada sorot mata Loretta sekarang.
“Jika kau menyukai potongan rambut pendek, kenapa kau malah memanjangkan rambutmu?” Tanya Jimmie sambil memandang rambut hitam Loretta yang tergerai hingga ke pinggang.
Bola mata Loretta bergerak ke arah lain, berusaha menghindari manik emerald Jimmie yang tak mau lepas darinya. Dengan refleks ia menyentuh helaian rambut hitamnya, “Ini karena ibu selalu menyuruhku untuk bersikap anggun. Katanya potongan rambut pendek tidak mencerminkan sosok perempuan yang anggun”.
Seketika Jimmie tergelak pelan, “Hahaha... jadi begitu!” ekspresinya kini terlihat begitu terhibur.
Ia lalu menjentikkan jari, kemudian menatap Loretta dengan tatapan mengejek. “Ibumu benar. Perempuan itu harus anggun dan lemah lembut, bukannya judes dan galak sepertimu” ejeknya bermaksud bercanda.
Dan untungnya Loretta memahami hal tersebut, dia memutar bola matanya sambil berdecih. “Kuanggap itu sebagai pujian” tanggapnya yang membuat Jimmie lantas kembali tertawa pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oblivion : Step Into Classic Imperial Palace
FantasyYang Loretta ingat, dia menangis di taman. Sendirian. Tapi kenapa saat dia membuka mata semuanya berubah, secara drastis. Loretta tentunya bingung setengah mati, semua orang bersikap aneh dan dia merasa asing. Kota tempat tinggalnya, kenapa berubah...