Daun yang lebat di atas pohon menghalangi kemilau jingga untuk hadir. Sama seperti suraiku yang terjatuh, ia menghalau kemerahan pada pipiku.
Aku menunduk, menggeliat tidak nyaman di kursi tua di bawah pohon rindang.
Aku berusaha bersikap sewajarnya agar terlihat tenang, tapi degup jantungku terlalu keras. Ini membuatku takut jika dia akan mendengarnya.
Aku meliriknya melalui sudut mataku, ia menggenggam kotak persegi berwarna bening dengan cincin yang imut di tengahnya. Ketika ia melihat mataku, ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Dia menatap manikku, memaksaku untuk melihatnya. Dengan lembut, dia bertanya lagi:
"Cira, maukah kau menikah denganku?"
Matanya membawa binar jatuh cinta yang penuh, aku merasa seolah taman antah-berantah di sini berubah menjadi ladang lavender yang dipenuhi gelembung sabun warna-warni yang indah. Juga, seolah jutaan kupu-kupu menggelitik perutku.
Aku memejamkan mataku pelan. Di luar, aku nampak setenang air dalam wadah, padahal dalam diriku, ada ratusan kembang api yang sedang dinyalakan.
Aku mengangguk lembut. Dia tersenyum, bahagia sekali.
Dia memintaku mengulurkan jemariku. Dia juga memasangkan cincin itu dengan hati-hati.
Aku mengangkat tanganku ketika cincin itu telah terpasang. Satu kata untuk menggambarkannya, cantik.
Cincin ini memiliki permata berwarna hijau gelap, karena itulah cincin ini terlihat sangat cocok dengan kulit cerahku. Belum lagi, ukurannya juga pas.
Bukan hal yang tidak mungkin untuk Dean membeli cincin pernikahan dengan memeriksa ukuran jariku dulu sebelumnya, karena dia sangat menyukai hal-hal sempurna.
Sore ini, Dean langsung memintaku menemui orang tuanya.
Rumahnya sangat besar. Ada patung penuang air di atas kolam dengan air terjun yang terus berjatuhan, ada juga pohon yang aku tidak tau namanya berjejer di sepanjang jalan yang menghubungkan gerbang menuju pintu utama.
Tidak seperti rumah pada umumnya di jaman ini, rumah keluarga Dean justru terlihat sangat kuno. Banyak sekali relief yang sepertinya pernah kulihat di candi-candi besar, rumahnya juga sangat luas dan asri karena pepohonannya.
Seseorang dengan baju yang kupikir lebih rapi dariku menghampiri kami, ia menuntun kami menuju ruang makan lalu meminta kami untuk menunggu kedatangan kedua orang tua Dean.
Aku mengalihkan wajahku ke Dean, bertanya dengan suara yang sangat kecil, "Itu siapa, Dean?"
"Kepala pelayan, dia sudah ada sejak aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar," jawabnya seraya memandang jauh lewat matanya seakan ia sedang mengenang sesuatu yang sudah lama terlupakan.
Aku sedikit terkejut, bukan karena seberapa lama pelayan itu bekerja, tapi karena bahkan pelayan saja berpakaian lebih rapi dariku.
Aku memandang pakaianku. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan ini, tapi pakaianku tidak mencerminkan seseorang yang terpelajar.
Celana jeans biru langit dengan sweater putih, bahkan rambutku hanya dikuncir kuda. Ini terasa sangat menjengkelkan, kenapa juga Dean langsung membawaku tanpa membiarkanku merapikan bajuku setidaknya.
Dean yang mengerti kekhawatiranku, mengelus lembut jemariku yang sudah mengenakan cincin darinya. Dia membisikkan sebuah kalimat yang membuat hatiku terasa penuh dengan cintanya.
"Kau adalah pilihanku, jadi orang tuaku akan selalu menghormatinya."
Itu hanya untaian kalimat sederhana. Namun, tidak ada yang bisa memahami bahwa kalimat sederhana itu bisa berdampak luar biasa pada hatiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Short (ONESHOOT)
RomanceIni adalah kumpulan cerpen yang kubuat dengan genre (fool) romance. Sinopsis #1 Pernah dengar kisah cinta dari pasangan yang paling cocok di dunia ini? Bukan karena mereka sama-sama cantik dan tampan, tapi karena mereka sama-sama gila! LOL! (warnin...