Setiap orang pasti mempunyai mimpi. Entah itu sebesar menjadi seorang pemimpin atau ilmuwan, ataupun sesederhana ingin dapat membahagiakan orang-orang terdekatnya. Berbagai cara dan usaha dilakukan untuk mencapai mimpi itu. Bahkan tak sedikit orang yang menjadikan mimpi sebagai patokan keberhasilan hidup.
Diantara semua mimpi yang ada, kurasa tak ada yang ingin duduk di posisiku sekarang. Diam dan hanya bisa pasrah saat seseorang yang memakai jubah membacakan putusan dalam hidupku. Menyatakan sebuah kegagalan hidup terbesar. Tidak dapat mempertahankan rumah tangga yang baru berusia lima tahun.
Aku menyerah dan kalah. Dia dan aku tak akan pernah bisa berada dalam kapal yang sama. Dermaga yang kami tuju ternyata kini telah berbeda. Angin dan badai pun menggoyahkan segala yang coba kami satukan. Hingga segalanya runtuh dan sukar untuk diperbaiki kembali.
Dia, yang duduk di sebelahku, terus menatapku tanpa kedip. Mungkin sama sepertiku. Dia juga sulit untuk percaya. Namun memang beginilah adanya. Kami gagal.
Aku berdiri dan keluar tanpa menoleh padanya. Bukan karena benci, justru karena cinta ini sungguh masih terasa nyata. Senyata luka di hati yang menganga.
"Al ...."
Panggilan itu membuat langkahku terhenti. Di depan ruang sidang yang baru saja mengesahkan perpisahan kami. Dia mendekat. Aku bisa merasai lewat aroma yang menjadi ciri khasnya. Suatu candu yang selalu menjadi favoritku.
Kini, dia berdiri di hadapanku. Awalnya, aku memilih menunduk. Menatap ujung sepatu kami yang berjarak beberapa mili saja. Namun dapat kutebak kalau dia kini tengah menatapku. Dengan mata teduh yang selalu menjadi bagian paling menarik dari dirinya. Tatapan yang dalam dan sanggup menenggelamkan.
"Al?" panggilnya lagi.
Kali ini, aku mengalah untuk mengangkat wajah. Sendu dan sesal itu tergambar di raut wajah dengan rahang tegas itu.
"Maaf," ucapnya pelan.
Satu kata yang ribuan kali telah dia ucapkan. Sesuatu yang dulu kukira bisa kuberikan. Namun waktu membuktikan kalau hatiku belum selapang itu. Apalagi sulit bagiku untuk melupakan.
"Kamu sudah bilang 'maaf' berkali-kali. Lama-lama, aku bisa overdosis," jawabku mencoba bercanda.
Dia mencipta sebaris senyum tipis. Menunduk untuk kemudian kembali menatapku. "Aku nggak akan pernah menyerah untuk benar-benar mendapatkan maaf darimu."
Dia tetap saja keras kepala. Aku menghela napas panjang. Ini selalu melelahkan. Entah sejak kapan, begitu berat bagiku untuk sekadar berbicara dengannya. Padahal dulu, aku tak pernah bosan bertukar kalimat dengan pria ini. Si pendiam yang bisa menjelma menjadi pendebat yang handal.
"Aku sudah memaafkan kamu."
Dia menyipitkan mata tak percaya. Sesudahnya, dia mengulurkan tangan. Telapak hangat yang sering membingkai wajahku itu kini tengah terbuka menunggu respons dariku. Ragu, aku menyambutnya dalam jabatan tangan ringan. Aku ingin melepas kala dia justru mengetatkan dalam kehangatan yang begitu kurindukan.
Mataku memanas seiring dengan jantungku yang berlomba. Organ itu seolah hilang dari kendali diriku. Bergerak sendiri, ingin menunjukkan betapa kehadiran pria ini masih berpengaruh besar dalam hidupku. Satu-satunya pria yang dapat membuat hatiku berdebar dengan cara yang menyenangkan.
"Aku melepasmu bukan karena aku sudah nggak cinta sama kamu lagi, Al. Justru karena rasa yang begitu dalam ini, aku nggak bisa membiarkanmu tak bahagia bila harus tetap di sisiku."
Mata kami bertentangan dalam adu tatap dengan segala kecamuk di masing-masing kepala. Andai semua sesederhana itu untuk diurai. Ingin rasanya aku memilih menyerah pada ego. Memilih bertumpu pada hati, agar aku masih bisa memiliki dia.
Namun ini bukan hanya tentang kami saja. Ada banyak objek lain yang membuatku harus mengambil langkah berat ini. Keraguan yang membayang akan lenyap bila mengingat satu luka yang terbentuk karenanya.Mataku tak sengaja menemukan satu titik di belakang kami. Salah satu objek yang menjadi pemicu semua keretakan hati yang tercipta. Seorang gadis muda yang kini tengah menatap kami dari jarak beberapa meter.
Senyum mirisku hadir. Kukira dia tak akan datang. Ah, aku lupa. Pasti dia hadir menjadi sang penghibur dan penyemangat. Suatu peran yang kutinggalkan, kini sudah ada pengganti yang mengisinya.
Kulepaskan tanganku dari genggaman tangannya dengan paksa. Wajahku pasti sudah keruh dan tak seramah tadi hingga dia kini mengernyit heran. Tapi aku tak peduli.
Kutatap pria pemilik hatiku ini dengan wajah setenang danau. Kalimat perpisahan terucap dari bibirku dengan intonasi yang jelas dan final. Agar dia tahu kalau aku memang menginginkan hal ini. Walaupun itu sama saja dengan menipu hatiku sendiri.
"Selamat tinggal, Mas."
***
Cerita baru, nih! Ayo dong ramaikan biar semangat update hihi
Makasih semua ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta untuk Alsyara
RomanceSebesar cintaku padanya, sebesar itu pula luka yang terbentuk olehnya. -Alsyara Rasyid