Enam

10.6K 793 15
                                    

Hatiku mengembang saat melihat nama yang tertera di layar ponsel. Sebuah nama yang sudah sangat jarang menghubungiku. Tak butuh waktu lama bagiku untuk mengangkat panggilan itu.

“Assalamu’alaikum, Na? Apa kabar?” sapaku dengan semangat.

“Walaikumsalam, Al. Baik. Kamu sendiri gimana kabarnya?”

“Baik. Tumben nih kamu telepon aku siang-siang begini?” Aku bertanya penasaran.

Hening, hingga aku mengecek layar ponsel, takut panggilan sudah terputus. Tapi ternyata masih tersambung.

“Reyna?” panggilku lagi.

“Eh, iya, Al. Sorry, sorry, lagi kurang konsen tadi.”

Reyna terkekeh, namun terdengar janggal. Seolah dipaksakan. Terlalu lama mengenalnya, membuatku bisa menebak apa yang dia sembunyikan, sekalipun hanya lewat suara.

“Ada apa, Na?” tanyaku serius.

Reyna pun terlalu lama mengenalku, hingga tahu kalau aku tidak suka basa-basi. Helaan napasnya terumbar sebelum dia mulai berbicara.

“Mas Syafiq sedang di luar kota, ya, Al?”

“Iya, ke Yogyakarta. Eh, kamu ketemu dia, ya?” tanyaku antusias.

Reyna tak langsung menjawab. Namun saat kalimat selanjutnya keluar, aku dibuat membeku.

“Iya, tapi kami nggak ngobrol karena dia nggak lihat aku. Yang mau aku kasih tahu, di sini ... dia lagi jalan sama perempuan, Al.”

Jantungku mencelos seketika. Sungguh, kalau informasi ini bukan berasal dari Reyna, aku pasti akan meragukan kebenarannya. Sayangnya, info ini berasal dari Reyna, yang aku tahu tak akan pernah berbohong padaku.

“Perempuan?” tanyaku setengah linglung.

“Iya, Al. Perempuan muda, aku belum pernah lihat sebelumnya. Tadi aku sempat ambil foto mereka. Kamu mau aku kirimin fotonya?”

“Boleh. Tolong kirim sekarang juga ya, Na?” jawabku cepat dengan jantung berdebar tak terkendali.

Beberapa detik kemudian, duniaku runtuh seketika. Kemungkinan Reyna berbohong atau sekadar bercanda, itu masih ada, walaupun sangat kecil. Tapi gambar yang dikirim Reyna tak mungkin berbohong. Bahkan foto-foto itu lebih dari bercerita segalanya.

Fotonya tidak diambil dari jarak dekat, tapi aku bisa mengenalinya. Bahkan kemeja yang dikenakan sang pria adalah kemeja pilihanku. Aku yang menata dan memasukkannya ke dalam koper. Jadi tidak salah lagi, pria itu adalah Syafiq.

Dua orang dalam foto itu tampak begitu mesra. Berjalan sambil berangkulan. Tak bisa mataku untuk tidak mengamati detail si gadis. Tampak masih muda sekali. Kutaksir usianya masih akhir belasan atau awal dua puluhan.

Pikiranku mulai bekerja. Membuat kilas balik kejadian akhir-akhir ini. Sejak beberapa bulan lalu, Syafiq memang sering pergi ke Yogyakarta. Seingatku, paling tidak sudah empat atau lima kali. Bodohnya, aku tak menyadari kalau dia pergi tiap akhir pekan. Padahal dia beralasan pergi dinas luar, ke hotel cabang di sana.

Hal ini bahkan tak pernah hadir di mimpiku yang terburuk. Sepercaya itulah aku pada suamiku, hingga tak pernah terbersit sekalipun kalau dia akan mendua. Dia terlalu baik untuk menjadi seorang penghianat. Ya, aku selupa itu kalau di dunia ini, tak pernah ada orang yang sempurna. Syafiq sekalipun.

Namun, ini bukan semata anggapanku saja. Ada banyak orang-orang di sekitar kami, yang berpendapat bahwa pernikahan kami begitu sempurna. Pun dengan semua tingkah dan laku yang ditunjukkan oleh Syafiq. Dia bukan seorang yang mudah menjalin hubungan dengan lawan jenis secara sembarangan.

Cinta untuk AlsyaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang