Aku memarkir sepeda motor dengan sembarang. Melangkah separuh berlari, aku masuk ke dalam rumah. Mbak Dewi tengah menemani Shaka bermain di ruang tengah. Anak itu langsung berdiri untuk menyongsong kedatanganku.
“Ma, Papa udah pulang. Tapi sakit. Panas, kayak Shaka waktu itu.”
Bocah berusia tiga tahun itu langsung melapor. Aku mengangguk dan tersenyum. Menenangkan Shaka supaya tidak cemas berlebihan. Sebenarnya, hal inilah yang membuatku pulang dengan cepat dari rumah makan. Syafiq ini jarang sakit, jadi kalau dia sampai tumbang dan izin pulang cepat, berarti sakitnya serius.
“Mama ke kamar dulu, ya, Sayang? Mau lihatin Papa. Sama mau kasih obat, biar cepat sembuh. Shaka main sama Mbak Dewi dulu, ya?”
Bocah laki-laki itu mengangguk patuh. Demi papanya, tiba-tiba dia berubah menjadi anak yang sangat penurut. Aku bergegas menaiki anak tangga menuju kamar.
Kubuka pintu kamar dengan pelan, dan keadaan kamar cukup gelap. Semua tirai jendela tertutup dan lampu belum dinyalakan. Tampak sesosok tubuh bergelung di bawah selimut.
Aku menyalakan lampu kemudian melangkah mendekat, masuk sebentar ke kamar mandi untuk mencuci tangan dan kaki. Setelah keluar, baru kuhampiri Syafiq yang berbaring dengan irama napas yang teratur. Kusibak selimut yang menutupi kepalanya.
Mungkin merasa terusik, pria itu bergerak. Matanya mengerjap terbuka. Menatapku, kemudian tersenyum dengan bibirnya yang pucat.
“Udah pulang, Al?” tanyanya dengan suara serak.
Aku mengangguk, mengecek dahinya. Ternyata Syafiq memang demam.
“Apanya yang sakit, Mas?”
Dia kembali memejamkan mata. “Pusing, Al. Badanku rasanya juga pegal-pegal semua,” keluhnya.
“Makanya, istirahat itu yang teratur. Kalau pas nggak ada lembur, dipakai buat istirahat. Bukannya malah nyari kegiatan nggak penting. Yang ikutan main futsal lah, begadang nonton bola lah. Kamu itu sudah tua, Mas. Staminanya udah beda, nggak seperti waktu masih muda dulu,” omelku panjang lebar.
Mendengar omelanku, Syafiq mencebikkan bibir. “Suami sakit itu disayang-sayang, Al. Bukannya malah dimarah-marahin,” protesnya.
Aku menghela napas. Khawatir bercampur kesal. Syafiq ini memang paling susah dinasehati soal menjaga daya tahan tubuh. Sering begadang, kalau bukan masalah pekerjaan, pasti urusan sepak bola. Kalau aku sudah mengomel, dia hanya diam saja. Tapi tidak pernah berubah.
“Al, udah jangan cemberut begitu. Aku janji nggak bakal begadang lagi. Kalau perlu, aku dikasih jam malam juga, deh. Biar sama kayak Shaka.”
Sekarang, dia berusaha merayu. Sebenarnya aku juga tak begitu marah, lebih pada khawatir padanya. Tapi tetap kusembunyikan senyum agar dia tidak merasa besar kepala.
“Sekarang, Mas mau gimana? Pergi ke dokter? Atau minum analgesik aja?” tanyaku.
“Nggak perlu ke dokter.” Pria itu memamerkan barisan giginya dalam sebaris senyum. “Minta pijit, Al. Badanku rasanya pegal-pegal semua. Sama pengen makan sop ayam hangat buatanmu. Setelah itu, cukup minum paracetamol, insya Allah juga sembuh.”
Kalau sedang seperti ini, aku jadi paham kalau Syafiq memang sangat cocok dengan jabatan di tempatnya bekerja. Dia pandai sekali merayu dan meredakan amarah yang sudah hampir memenuhi kepala. Tidak salah kalau dia selalu bisa mengatasi masalah yang berhubungan dengan komplain pelanggan.
“Sekarang, mau pijat dulu atau makan?” tanyaku yang segera disambut dengan cengiran lebar.
“Pijat, Al. Pakai coconut virgin oil ditambah lavender oil. Masya Allah, aku berasa lagi di spa tapi terapisnya bidadari surga.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta untuk Alsyara
RomanceSebesar cintaku padanya, sebesar itu pula luka yang terbentuk olehnya. -Alsyara Rasyid