“Kamu gila!”
Dia malah tertawa. Sungguh menyebalkan.
“Kamu harus bisa bedakan mana orang yang berani berjuang dan orang gila.”
Aku mendengus mendengar pembelaan diri darinya. Masih sangsi kalau pria ini akan menjadi calon suamiku. Padahal total lama kami berkenalan baru tiga bulan. Namun dia sudah mantap membawa ibunya dalam acara lamaran resmi nanti malam.
Mungkin karena melihatku yang memasang wajah masam, dia akhirnya menghentikan tawa. Berubah raut menjadi serius, satu tangannya meraih jemariku. Mengaitkan dalam jalinan rapat. Hangat, dan munafik kalau kubilang ini tak nyaman. Sebaliknya, dia memang paling pandai membuatku merasa tenang.
“Cepat atau lambat, bakalan sama aja, 'kan, Al?”
“Beda,” jawabku bersikeras.
“Sama aja. Pada akhirnya, kita akan menikah juga.”
“Belum tentu,” tantangku.
Dia menyeringai, tampak tak gentar. “Ayolah, Al, jujur pada dirimu sendiri. Kita ini memang saling suka, bahkan mungkin cinta. Jadi untuk apa menundanya? Kita sama-sama dewasa dan cukup dalam segi usia. Bahkan tahun ini, aku sudah tiga puluh satu tahun.”
Aku menyipitkan mata. “Kamu ngeyel mau nikah cepat-cepat karena dikejar target usia?” tuduhku yang disambut dengan tawanya.
Dia menggeleng, mantap dan yakin. Matanya memerangkapku dalam pandangan dalam dan intens. Seolah ingin menunjukkan betapa serius kata per kata yang akan keluar dari bibirnya.
“Aku mau menikah sama kamu, karena aku memang mau kamu. Bukan karena alasan lain. Mungkin kamu nggak percaya, tapi aku serius dengan hal ini. Sama sekali, aku nggak pernah berniat main-main sama kamu, bahkan sejak aku minta nomor teleponmu.” Syafiq mengeratkan genggaman tangan kami. “Tolong beri aku kesempatan untuk menjadikan kamu sebagai wanitaku. Wanita yang akan kuusahakan kebahagiannya selain Ibu. Mau, ya, Al?” pintanya dengan lembut.
Aku bergeming. Semua kalimat dari Syafiq mampu menggetarkan hatiku dan menepiskan semua ragu yang bercokol dalam hati. Ini memang bukan lamaran romantis dengan setting tempat di restoran mahal, dalam balutan acara candle light dinner. Sekarang, kami hanya duduk di teras depan rumahku, dengan backsound denting logam bertemu piring sebagai tanda Uda penjual pempek keliling sebentar lagi akan lewat. Tapi semuanya tak mengurangi momen magis di antara kami berdua.
“Nikah sama aku, ya, Al?” ulangnya lagi meminta.
Kali ini bukan bantahan, namun sebuah anggukan yang kuberikan.
***
Aku membuka mata dan melihatnya tengah menatapku tanpa kedip. Butuh beberapa kerjapan mata untukku bisa terjaga sempurna. Senyumannya langsung menyambut pagi hariku.
“Kamu udah bangun, Mas?”
Dia mengangguk dengan senyum yang tak pudar. “Kamu masih ngantuk?”
Aku mengangguk dan kembali menutup mata. Membuatnya mengurai tawa yang renyah. Menembus gendang telinga dan mengajak bibirku untuk turut mengurai tipis lengkung senyuman.
“Aku nggak bisa tidur.”
“Kenapa? Aku ngorok?”
Tertawa lagi. “Bukan. Aku cuma takut.”
“Takut kenapa? Takut aku berubah jadi kuntilanak, terus tiba-tiba kamu bangun di area pemakaman.”
Tawa keras itu memenuhi kamar. Seiring dengan sepasang tangan yang memelukku dengan kencang. Getaran yang tercipta akibat tawanya berhasil membuatku membuka mata. Dia menempatkan tubuh di atasku. Matanya menyala oleh binar yang begitu terang. Membuatku tersesat dan tak mau berhenti berbagi tatap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta untuk Alsyara
RomanceSebesar cintaku padanya, sebesar itu pula luka yang terbentuk olehnya. -Alsyara Rasyid