Dua

15.4K 999 7
                                    

Seperti kemarin, kita flashback dulu ke belakang, ya?

***

Aku menatap tak percaya pada sosok yang kini sedang berdiri di depan pagar rumahku. Bahkan tanganku mengusap kedua kelopak mata, berpikir mungkin ada yang salah dengan penglihatanku. Tapi tetap saja, bayangan itu tak berubah.

“Kamu ngapain ke sini?” tanyaku pelan, seolah takut ada yang mendengar. Padahal di luar, hanya ada aku dan dia, Syafiq yang hari ini tampak rapi namun santai.

“Aku mau main ke rumahmu.” Pria yang memakai kemeja flanel berlengan pendek dengan motif plaid yang dipadukan dengan celana jeans berwarna hitam itu menjawab dengan santai.

Aku mendesis, setengah kesal. “Iya, maksudku kamu ngapain main ke rumahku sekarang? Bahkan tanpa kasih tahu aku dulu,” protesku.

Alih-alih tersinggung, dia justru mencipta senyuman lebar yang mencapai mata. Dalam keadaan lain, mungkin aku akan terpesona. Parasnya yang tampan, ditambah dengan gaya pakaian yang terasa pas, bonus senyuman semanis itu, aku rasa semua perempuan yang melihat akan terhipnotis oleh pesonanya. Namun tidak dalam kesempatan ini, ketika hatiku ketar-ketir. Takut ketahuan oleh orang rumah kalau ada pria yang mendatangiku.

“Kamu kenapa kelihatan ketakutan begitu, sih?”

Syafiq masih merasa perlu bertanya? Mungkin dia kurang tahu kalau tidak semua keluarga itu berpikiran terbuka. Dia belum mengenal keluargaku saja. Apalagi Papa dan Mas Damar.

“Di dalam, ada keluargaku.” Aku memberi kode.

Sesaat kemudian dia tampak mengerti dan mengangguk. Namun pikiranku salah saat dia kemudian dengan enteng berkata, “Bagus. Kebetulan, aku memang mau ketemu sama keluargamu. Pengen kenalan.”

Aku menepuk dahiku sendiri dengan telapak tangan. Gemas sekaligus frustrasi. Apakah pria ini tidak takut kalau diberondong dengan pertanyaan yang menakutkan bagi sebagian besar pria. Apalagi hubungan kami sebenarnya masih belum berstatus jelas. Beberapa kali bertemu dan mengobrol, tapi topik yang kami bahas masih dalam tahap hal umum. Belum menelisik hal pribadi. Kami hanya sebatas tahu kalau status kami sama-sama single.

“Mas, keluargaku itu nggak seperti yang kamu bayangkan,” ucapku setengah putus asa.

Aku takut dia nanti akan kaget kalau diberi banyak pertanyaan oleh Papa atau Mas Damar. Bisa-bisa dia pingsan di tempat.

“Memangnya kamu tahu apa yang ada dalam bayanganku. Wah kamu hebat, ya?”

Ya ampun!!! Bisa-bisanya dia bercanda dalam situasi seperti ini.

“Al? Kamu ngapain berdiri di depan pagar kayak begitu?”

Aku membeku di tempat saat mendengar pertanyaan dari seseorang yang berada di belakangku. Sepertinya, aku harus mencari akal supaya lolos dari situasi mengerikan ini, mungkin pura-pura amnesia.Tapi ... di mana aku bisa menemukan tiang listrik dan berpura-pura kecelakaan?

**

“Kamu siapa?”

Pertanyaan sederhana ini berasal dari Papa. Tapi serius, untuk menjawabnya kurasa tak akan sesederhana itu. Pasti akan ada banyak penjelasan yang nanti menyertainya.

“Saya Syafiq, Om. Temannya Alsyara.” Syafiq menjawab dengan mantap, tanpa terdengar ragu sedikitpun.

Aku bisa melihat Mas Damar mengangkat alis, terlihat tertarik. Satu hal yang aku khawatirkan. Mas Damar memang cenderung tidak banyak bicara seperti Papa. Tapi kemampuannya membuat orang tampak mati kutu juga sekaliber Papa. Duo ini adalah tantangan terberat bagi para pria yang bermaksud mendekati aku, maupun Elyana.

Cinta untuk AlsyaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang