Sebenarnya mau publish tadi sore, tapi terganggu sinyal, hehe
Untuk bab ini, akan pakai alur campuran. Jadi bagian awal yang berhuruf miring artinya flashback, ya? Sementara untuk huruf normal, berarti masa sekarang.
Oke, paham kan? HeheHappy reading ...
***
Aku membetulkan letak selimut Mama. Alhamdulillah, sepertinya Mama sudah bisa tidur nyenyak. Kuputar pandangan ke seluruh ruangan. Ruang rawat kelas satu ini sebenarnya cukup nyaman. Tapi bukan berarti aku bisa tidur nyenyak nanti. Aku agak kesulitan tidur di tempat asing.
Setelah memastikan tidak ada masalah dengan infus Mama bila harus ditinggal sebentar, aku keluar sambil membawa ponsel. Bermaksud menghubungi orang rumah. Agar tak mengganggu istirahat Mama, rasanya memang lebih baik aku menelepon di luar saja.
Kugulir layar ponselku yang menampilkan kontak hingga menemukan apa yang kucari. Segera kutekan opsi panggil. Kutempelkan ke telinga dan mendengar nada tunggu. Kududukkan diri di kursi yang tersedia di koridor.
“Assalamu’alaikum, Mbak. Gimana Mama?”
Elyana langsung memberondong dengan pertanyaan begitu dia menjawab panggilan.
“Walaikumsalam. Alhamdulillah, Mama sekarang lagi tidur. Perutnya udah nggak sakit lagi,” jawabku mencoba menenangkannya.
Terdengar helaaan napas lega disertai ucapan alhamdulillah dari Elyana.
“Tapi Mama harus di-opname, ya, El. Biar sekalian kita tahu apa penyebab sakitnya Mama, jadi harus dilakukan tindakan USG,” jelasku dengan pelan.
“Tapi nggak parah, 'kan, Mbak?”
Nada khawatir terdengar dari suara Elyana yang pecah. Sepertinya dia sudah hampir menangis. Adikku itu memang sangat sensitif. Apalagi bila menyangkut tentang Mama.
“Insya Allah nggak, El. Kita berdoa aja semoga Mama cepat sembuh.”
“Aamiin. Terus yang mau jagain Mama malam ini siapa? Apa aku perlu nyusul sekarang?”
Aku buru-buru menggeleng, sesaat baru sadar kalau Elyana tidak bisa melihatku. “Nggak perlu. Besok aja kalau pulang kuliah. Tapi besok pagi sebelum ke kampus, mampir sini dulu, ya, El.”
“Siap, Mbak. Nanti aku perlu bawa apa saja?”
Aku tersenyum mendengar Elyana yang sigap dan tanggap seperti ini.
“Nanti daftar barang-barang yang harus kamu bawa, aku kirim lewat pesan aja,” ucapku. “Oh ya, sekalian bilang sama Papa buat nggak khawatir lagi, ya? Insya Allah, Mama sudah dapat penanganan yang tepat.”
“Iya, Mbak.”
“Kalau gitu, sudah dulu, ya? Assalamu’alaikum.”
“Walaikumsalam, Mbak.”
Aku menutup telepon kemudian menutup mata. Menyandarkan kepala pada kepala kursi besi yang terasa agak dingin. Seperti semua rumah sakit pada umumnya, udara terasa begitu lembab karena pendingin ruangan yang bekerja.
Tubuhku rasanya cukup lelah. Aku baru saja pulang saat Mama kesakitan dan mengeluh nyeri pada perut bagian bawah. Tadi semua lelahku tidak terasa karena ditindih rasa cemas dan khawatir. Sekarang setelah hatiku sudah lega, baru kembali terasa semua lelah yang mendera.
Lebih baik kalau aku mencari minuman. Mungkin sedikit kafein bisa meringankan tubuh dan menyegarkan kembali pikiranku. Aku membuka mata dan menegakkan tubuh. Namun dibuat terperanjat saat menoleh dan melihat seseorang duduk di sampingku. Berjarak satu kursi kosong di antara kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta untuk Alsyara
RomanceSebesar cintaku padanya, sebesar itu pula luka yang terbentuk olehnya. -Alsyara Rasyid