Empat

11.8K 824 7
                                    

Setahun lebih aku mengenalnya, ini tiga kali aku melihatnya menangis. Tangis dalam artian sebenarnya. Pertama, saat kami sungkem pada Ibu di hari pernikahan. Kedua, saat Ibu meninggal beberapa bulan lalu. Dan yang terakhir, saat ini. Saat untuk pertama kalinya, dia membuai sosok mungil yang bahkan panjangnya hanya lima puluh centimeter dengan berat badan 3.200 gram.

Aku bisa melihat tangannya bergetar saat menerima bayi itu dari seorang perawat. Makhluk lemah itu mampu membuat seorang Syafiq, pria kuat dan berpendirian teguh, menitikkan air mata saat mendekapnya. Sebuah pemandangan terindah bagiku setelah melewati beberapa jam dalam perjuangan untuk menjumpai dia yang telah lama dinantikan.

“Matanya mirip aku, Al.”

Aku mengangguk setuju.

“Bibirnya juga.”

Lagi, aku mengangguk.

Mata Syafiq terangkat memandangku. Memerah namun penuh binar bahagia. Senyumnya mengembang sebagai bukti rasa syukur atas semuanya.

“Makasih, ya, Al. Untuk semuanya. Lelahmu selama mengandung, sakitmu saat kontraksi, juga usahamu untuk mengantarkannya pada dunia.” Mata pria itu kembali menggenang, bersamaan dengan turunnya air mataku. “Selamanya, aku nggak akan bisa gantikan apa yang sudah kamu berikan ini, Al. Makasih, ya?”

Aku mengangguk karena tak bisa membalas dengan kata. Lagipula, tak perlu banyak suara, kami saling tahu apa yang hati kami rasa.

“Namanya siapa?” tanyaku.

Sebelumnya, Syafiq masih terlalu bingung untuk memilih satu dari banyak nama yang telah dia siapkan sendiri. Keinginan memberi yang terbaik membuatnya jatuh dalam pusing karena menyusun puluhan rangkaian nama. Padahal istrinya hanya melahirkan satu bayi saja.

“Hm ...  Shaka. Nama lengkapnya, Muhammad Shaka Assyafiq. Nama belakangnya diambil dari nama panggilanku, nggak apa-apa, 'kan, Al?”

“Seorang ayah adalah yang paling berhak memberikan nama untuk anak-anaknya.”

“Tapi yang paling berhak atas seorang anak laki-laki adalah ibunya,” sahut Syafiq.

Aku tersenyum dan mengangguk. Syafiq menghampiriku, duduk di tepi ranjang dengan Shaka yang berada dalam gendongannya. Bayi mungil yang matanya mulai mengerjap itu begitu menggemaskan.

“Dia ini yang akan menjadi penjaga untuk ibunya kelak, Al.”

Aku mengaminkan ucapan Syafiq dengan sungguh-sungguh. Berharap kelak harapan kami bukan hanya sebatas angan, tapi terwujud dalam bentuk nyata. Anak ini akan jadi penolong bagi orangtuanya, bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat kelak.

“Seandainya Ibu masih ada. Pasti Ibu akan bahagia bisa melihat cucu laki-lakinya ini,” gumam Syafiq pelan.

Aku memegang sebelah pipinya. Menghadapkan wajah itu ke arahku. “Insya Allah, Ibu sudah mendapat tempat yang baik, Mas. Tak ada guna segala kata ‘seandainya'. Lebih baik kalau kita terus mengirimkan doa, itu lebih banyak faedah untuk Ibu. Ikhlas, Mas. Allah lebih tahu yang terbaik untuk hamba-Nya.”

Syafiq tersenyum. “Kamu benar, Al. Ibu pergi karena memang waktunya sudah habis. Sekarang, ada kamu yang menemani aku sebagai pengganti Ibu. Allah memang lebih tahu yang terbaik untuk kita. Dia ambil Ibu, setelah lebih dulu mengantarkan kamu ke dalam hidupku.”

Wajah pria itu maju. Aku hafal betul apa yang akan dilakukannya selanjutnya. Namun saat bibirnya baru saja akan mengecup bibirku, sebuah lengking tangis menghentikan. Syafiq menarik wajahnya kembali. Aku dan dia sama-sama berpandangan, di tengah tangisan keras dari si bibir mungil. Hingga akhirnya tawa kami keluar. Syafiq berganti sasaran dengan mencium pipi halus yang masih tipis itu. Dengan sangat hati-hati.

Cinta untuk AlsyaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang