Tatapan Keenan pun tak bisa lepas dari Karin yang sedari tadi terus-terusan meneguk kaleng beer miliknya.
"Lo ke sini bukan buat ngabisin stock beer gue kan?" tanya Keenan.
Karin meletakkan gelas beer yang kini sudah kosong dengan cukup kencang.
"Lo bilang gue boleh ke sini kalau gue butuh comfort food"
"Iya lo baru aja ngabisin satu piring itu dan 4 kaleng beer gue"
"Keenan..." ucap Karin sambil menutupi setengah wajahnya dengan tangannya.
"Hm?" tanya Keenan sambil menyingkirkan kaleng beer lainnya sebelum Karin mengambil itu.
"Ada orang menyebalkan yang ga bisa pergi dari hidup gue selama 20 tahun"
Keenan terus mendengarkan Karin yang sudah tidak sepenuhnya sadar saat itu.
"Dia ga pernah bisa biarinin gue bahagia, dia paling ga suka liat gue tersenyum" lanjut Karin.
"Gue benci kakak gue"
Ucapan Karin cukup membuat Keenan terkejut tapi yang jauh lebih membuatnya terkejut adalah wajah Karin yang hampir saja terbentur meja. Reaksi tangan Keenan yang cukup cepat menyelamatkan wajah Karin dan kini tangannya terjebak di antara meja dan Karin yang tidak menyadarkan dirinya.
***
Aku terbangun dengan kepalaku yang terasa sangat berat. Setelah mataku sepenuhnya terbuka dengan lebar, aku sadar aku tidak berada pada kamar tidurku.
"Nyenyak ya tidurnya?" tanya Marcella sambil membawa segelas air hangat untukku.
"Kok gue bisa ada di sini, terakhir yang gue inget gue ada di.... Oh my God, did I just...?"
"Iya, semalam Keenan yang bawa lo ke sini. Lo sama sekali ga sadarin diri tau ga? Sampe-sampe Keenan harus gendong lo sampe ke sini"
"Astaga Karin" aku menutup wajahku sepenuhnya menggunakan bantal, apa yang harus ku katakan ke Keenan setelah ini?
"Lagian lo kok bisa sih ada di sana kemarin? Gue kira ga ada apa-apa setelah pertemuan kalian waktu itu, ternyata...."
Aku melempar bantal tepat pada wajah Marcella untuk menghentikan ucapannya.
"Marcella, gue lagi ga berada pada mood yang tepat untuk membicarakan itu oke?"
"Oke oke tapi serius deh, lo kenapa sih bisa minum sampai sebanyak itu kemarin? Terakhir lo begini pas ditinggal Ryan ke LA yang sampai detik ini sih lo bilangnya lo ga ada apa-apa ya sama dia"
"Kemarin gue ketemu Helen di gym"
Dengan cepat Marcella mengalihkan tatapannya kepadaku.
"Helen? Dia apain lo lagi?"
"Dia basahin sepatu gue"
"Hah? Helen lakuin itu? Sebenernya umur dia berapa sih? Ngakunya artis papan atas tapi kelakuan kayak bocah"
"I know right"
"Udah ga usah lo pikirin lagi. Gue udah siapin sup di depan, nanti lo makan ya. Sekarang lo buruan mandi, biar gue dulu yang urus meeting"
"Thank you, you are the best"
Tepat saat aku hendak memeluk Marcella, dengan cepat ia berdiri dari ranjang dan menghindariku.
"Mandi dulu, jorok!" ucapnya sambil berjalan meninggalkan ruangan itu.
"Cella" panggilku tepat sebelum ia menutup pintu.
"Abis ini gue harus ngomong apa ke Keenan?"
***
"Chef, yang kemarin itu... Karinina Aretta kan? CEO dari produk kencantikan nomor satu di Indonesia" tanya Zara kepada Keenan dengan sedikit berhati-hati.
Keenan meletakkan sendoknya dan mengalihkan tatapannya pada Zara.
"Iya" balasnya singkat.
"Chef kenal sama dia? Astaga saya selalu pakai produk-produk Zola loh" ucap Zara dengan antusias.
"Oke, sekarang lo mending siapin bahan-bahan. Jangan sampai ada yang kurang kayak kemarin"
"O..oke" senyuman lebar yang sempat terukir pada wajah Zara menghilang dalam hitungan detik.
"Jadi, yang itu orangnya?" tanya Bram yang sedang duduk di samping Keenan.
Keenan kembali meletakkan sendoknya, bahkan kini ia berdiri dari tempat duduknya.
"Eh eh iya iya sorry, gue ga bakal ganggu deh"
Bram menahan lengan Keenan dan membuatnya kembali duduk.
"Lo tau kan dia bukan cewe biasa? Yang ngantri panjang jadi jangan dibiarinin gitu aja, nanti mubazir" ucap Bram sambil menepuk bahu Keenan.
"Berisik ah lo"
Bram tertawa puas setelah berhasil meledek sahabatnya itu.
"Oh ya, sore nanti gue cabut lebih awal ya" ucap Keenan sambil menghapus bekas makanan pada mulutnya.
"Lo mau ke mana?"
"Rumah"
Sudah hampir satu jam Keenan menunggu ayahnya yang tak kunjung pulang, makanan yang awalnya hangat pun sudah mulai dingin. Tepat pada saat ia berdiri dari tempat duduknya, ia mendengar suara pintu yang baru saja dibuka.
"Keenan? Tumben kamu datang hari biasa gini" ucap sang ayah sambil meletakkan tas kerjanya pada sofa yang terletak di ruang tamu.
"Udah lama aja ga masak buat papa" balas Keenan sambil mempersilahkan ayahnya duduk.
Setelah kembali menghangatkan makanan yang dimasaknya tadi, Keenan menyajikannya untuk ayahnya.
"Setiap kali kamu datang ke sini, makanan kamu selalu tambah enak"
Keenan tersenyum tipis, menanggapi pujian ayahnya itu. Tak membutuhkan waktu lama bagi ayahnya untuk menghabiskan makanan itu.
"Kopi?" tanya sang ayah kepada Keenan yang sedang berdiri di balkon rumah.
"Thank you, pa" Keenan mengambil secangkir kopi dari tangan ayahnya.
"Gimana restoran kamu? Masih tetap ramai?"
"Gitu deh pa"
Ayah dan anak itu pun saling menikmati kopi masing-masing dengan menikmati pemandangan malam yang ada di depan mata mereka.
"Papa kenal Karin?"
Pertanyaan Keenan membuat sang ayah menatapnya bingung.
"Kenal, ada apa?"
"Kok bisa? Memangnya Karin ada hubungan apa sama papa?"
"Ada apa ini, ga biasanya kamu penasaran kayak gini"
"Ya gapapa, cuma mau tanya aja" ucap Keenan sambil mengalihkan pandangannya dari ayahnya.
"Papa ketemu Karin waktu dia masih berumur 18 tahun, waktu itu dia masih tinggal sendirian dan ga se-sukses sekarang. Kebetulan waktu itu ada event dan tempat dia bekerja dulu yang jadi organizernya. Waktu itu, Karin samperin papa dan tanya-tanya tentang foundation papa. Papa liat ada potensi di dalam diri Karin yang ga banyak dimilikin anak muda saat itu dan akhirnya papa bantu untuk support dia melalui foundation"
Setelah menyelesaikan ceritanya, ia kembali menatap anak semata wayangnya yang sedang berdiri di sampingnya itu.
"Kamu sendiri? Kok bisa kenal Karin?"
"Lewat temen pa"
"Oh gitu, padahal di event kemarin papa baru mau kenalin kalian"
"Ngomong-ngomong.... memangnya Karin punya kakak?"
"Hmmm setau papa sih Karin anak satu-satunya ya"