plate·4

286 28 0
                                    

Aku terbangun dengan kepala yang terasa sangat berat, beberapa kaleng beer yang berserakan di depanku menjelaskan semuanya. Dengan sedikit paksaan aku berusaha untuk berdiri dari tempat dudukku. Jam menunjukkan pukul 8 pagi, aku melangkah menuju kamar mandi dan cukup ku akui air hangat pagi itu membuat tubuhku terasa lebih baik.

Tepat saat aku hendak berjalan keluar dari pintu apartemenku, aku mendengar suara deringan telepon. Sambil menghabiskan roti yang masih ada di dalam mulutku, aku mengangkat panggilan telepon itu.

"Halo Cell, sorry gue kayaknya bakal telat-"

"-lo baca chat gue, sekarang"

Marcella menutup teleponnya, dengan cepat aku membuka chat kami. Ada sebuah foto yang dirikimkan olehnya.

[BREAKING] Direktur utama perusahaan ternama asal New York terlibat dalam kasus manipulasi politik.

Rasanya ada petir tepat di atas kepalaku. Tanganku yang terasa lemas membuat handphoneku terjatuh, ada rasa sakit yang begitu hebat dari kepalaku.

***

Sambil menarik napas panjang, aku membuka pintu ruang rapat dengan perlahan. Semua staff yang terlibat dalam project kolaborasi ini sudah berkumpul di dalam. Rasanya, mereka sudah siap menerima pahitnya kenyataan.

"Untuk saat ini, yang dapat kita lakukan hanya menunggu hasil penyelidikan keluar. Sekarang, kalian bisa kembali melakukan tugas masing-masing dan kalau ada kabar baik yang bisa gue sampaikan ke kalian, gue bakal lakuin itu"

Melihat ekspresi tegang dan kecewa dari teamku membuat hal ini terasa lebih menyakitkan. Aku tau kerja keras yang selama ini mereka lakukan untuk mewujudkan kolaborasi ini dan semua itu hilang begitu saja.

"It's a good day to celebrate isn't it?" ucap Rayhan sambil meletakkan kakinya di atas meja kerjanya.

"Jangan terlalu larut dalam kesenangan, kita harus memanfaatkan keadaan ini untuk menaikkan reputasi perusahaan" balas Arief.

"Chill, kita bisa lakuin itu kapan aja. Dampak dari ini akan berlangsung lama, lo ga perlu khawatir"

Arief hanya dapat menggelengkan kepalanya. Setelah menyadari kehadiran Helen dari kaca ruangan Rayhan, Arief pun berdiri dari tempat duduknya.

"Gue tinggal dulu"

Rayhan memperbaikki posisi duduknya dan memasang senyum lebarnya saat melihat kehadiran kekasihnya itu.

"Hey babe" ucap Rayhan.

Helen hanya membalasnya dengan senyuman dan menempati tempat duduk pada ruangan Rayhan.

"Kemarin aku sempet ketemu Karin"

Rayhan berusaha untuk menahan senyumnya sambil menunggu kalimat selanjutnya.

"Dia tetap ga mau ngaku"

"Maling mana sih yang mau akuin perbuatannya, tenang aja pokoknya aku akan nolak ajakannya setelah ini" ucap Rayhan sambil memeluk Helen dari belakang.

Helen hanya dapat tersenyum tipis, meskipun ada perasaan berat di dalam hatinya.

Sepanjang hari, aku terus disibukkan dengan kekacauan yang terjadi dalam satu malam. Sambil mengambil waktu istirahat sedikit, aku memejamkan kedua mataku.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu menjadi tanda berakhirnya waktu istirahat singkat itu.

"Karin, lo udah makan?" tanya Marcella yang baru saja masuk ke dalam ruanganku.

"Gue ga lapar, lo makan aja dulu" balasku sambil memijat bagian wajahku, tepat di samping kedua mataku.

"Soal pengacara-"

"-gue udah hubungin Jeffry, dia bisa bantu kita urus ini"

"Oh kalau gitu, nanti gue bisa hubungin Amanda buat hold respon kita ke media"

"Tadi gue udah bilang ke Amanda, dia udah tau apa yang harus dia lakuin kok"

Marcella tersenyum sinis sambil memutar bola matanya.

"Ini kenapa gue selalu merasa ga berguna di saat-saat seperti ini tau ga? Kita itu satu team, Karin. Lo bisa percayain kita untuk mengatasi hal ini bersama-sama. Kalau lo begini terus, lo hanya akan menampung beban ini sendirian"

"Karena gue orang yang sepatutnya bertanggung jawab di situasi seperti ini Cella, ini tugas gue" aku membalas ucapan Marcella dengan nada bicara yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Marcella terlihat cukup terkejut mendengar ucapanku itu.

"Sorry, it's just not the perfect timing for this"

"Lo tau? Harapan gue cuma satu, bisa mendengar kata 'kita' keluar dari mulut lo daripada kata 'gue' yang selalu lo gunakan sebagai subjek dalam kalimat lo"

Marcella meninggalkan sekotak makanan pada mejaku dan meninggalkan ruanganku begitu saja. Aku terduduk lemas pada tempat dudukku sambil memegang kepala yang terasa semakin sakit.

Hari ini jelas terasa sangat berat, tanpa terasa aku sudah menghabiskan 15 jam di dalam ruanganku. Jam menunjukkan lewat dari pukul 12 malam, hari sudah berganti dan aku baru dapat kembali menapakkan kedua kakiku pada gedung apartemen yang menjadi tempat tinggalku. Aku menyempatkan untuk duduk pada ayunan yang terletak di halaman apartemen. Sambil mengayunkan ayunan itu dengan kedua kakiku, aku terus memandang tanah yang terdapat di bawahku.

Tatapanku pun teralihkan pada sepasang sepatu yang berada di hadapanku. Aku hanya dapat menghembuskan napas panjang sambil menatapnya.

"Gue ga mau nunjukkin sisi gue yang seperti ini ke lo" ucapku sambil menghindari tatapan pria itu.

Ia perlahan berjalan mendekatiku dan membiarkan air mataku turun dengan deras membasahi bajunya. Aku membiarkan tangisanku semakin kencang, mengeluarkan segala hal yang terjebak dalam hati dan pikiranku sejak kemarin. Tangannya pun tak berhenti menepuk punggungku dengan pelan.

***

"Minum dulu" Keenan menyerahkan segelas air putih yang baru saja ia ambil dari dapurku.

Aku meneguknya sedikit dan terus memperhatikan air yang terdapat di dalam gelas itu.

"Udah cukup malam, lo istirahat ya" Keenan berdiri dari tempat duduknya.

Aku meraih bagian ujung dari jaketnya dan membuat langkahnya terhenti.

"Percuma, gue ga akan bisa"

Keenan kembali berdiri di hadapanku dan menekuk kedua lutunya, menyesuaikan tatapannya agar dapat bertemu dengan tatapanku.

"Ada satu cara yang nyokap gue selalu lakuin ke gue waktu gue ga bisa tidur dulu, gue harap ini juga bisa bekerja buat lo"

Meskipun aku tidak yakin cara itu dapat bekerja padaku, aku merebahkan tubuhku pada sofa yang terletak pada ruang tamu. Keenan menutup tubuhku dengan selimut dan duduk di atas karpet, tepat di sampingku.

"Tutup mata lo" ucap Keenan.

Aku menutup kedua mataku dan tak lama setelah itu, aku merasakan sentuhan tangan pada punggungku. Keenan terus menepuk punggungku dengan perlahan dan hal itu membuat beban pada tubuhku terasa sedikit lebih ringan.


Ditatapnya perempuan yang ada di hadapannya itu, Keenan pun mengangkat tangannya perlahan. Ia menarik selimut hingga menutupi ¾ tubuh perempuan itu. Ada seulas senyum pada wajahnya sambil memperhatikan wajah perempuan itu.

"Goodnight, Karin"

MaisonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang