5. Percikan Api

74 5 2
                                    

Hallo! Aku kembali lagi. Hehehe. Ada yang kangen?

*****

"Selamat malam, Karel." Anwar langsung berdiri, menyambut kedatangan seseorang yang ia tunggu-tunggu sejak tadi. Setelah menunggu hampir satu jam lamanya di sebuah ruangan serba putih beraroma maskulin ini, akhirnya dia datang juga. "Ah, maaf. Apa harus ku ganti menjadi, selamat malam, Dokter Karel?" Kekehan kecil keluar dari mulut Anwar setelah mengatakannya. Rasanya sangat canggung memanggil Karel dengan embel 'dokter', ia tidak terbiasa. Dan Karel juga sepertinya tidak keberatan akan hal itu.

Karel tertawa, "Om, tidak usah terlalu formal," ucapnya juga sambil ikut terkekeh. Lalu ia mempersilahkan Anwar duduk kembali.

Dia berjalan ke sebuah pantry kecil di ruangannya, membuat dua cangkir kopi hitam yang sama-sama mereka berdua gilai. Bedanya, Karel tebiasa menambahkan satu sendok makan gula. Sedangkan Anwar, sama sekali tidak terbiasa ditambahkan pemanis apapun. Bisa membayangkan bagaimana pahitnya kopi itu?

"Kamu membuang waktu saya yang berharga, Karel."

"Maaf, Om." Karel memasang wajah menyesal yang dibuat-buat. "Saya tidak bermaksud membuat Pak Presiden menunggu," ujarnya penuh canda.

Kini, keduanya kembali tertawa bersama.

"Aku salah memilih dokter sepertinya. Kenapa aku memilih dokter yang sangat sibuk sepertimu?"

Karel hanya tersenyum menanggapi. "Bagaimana kabar Anna, Om?" Karel memilih mengubah topik pembicaraan. Memang inilah tujuan mereka bertemu. Membicarakan kesepakatan yang mereka lakukan selama delapan tahun ini.

Anwar menghela nafas, "Dia baik-baik saja. Sangat baik-baik saja. Tetapi... apa tidak ada tempat lain, Rel? Aku tidak mengerti kenapa istrimu memilih tempat itu."

Karel menyerahkan secangkir kopi hitam kepada Anwar yang dibalas pria itu dengan ucapan terima kasih tanpa suara. Dia sangat paham akan kekhawatiran yang melanda seorang ayah di depannya ini kepada anaknya. "Bukannya Om sudah tahu alasannya?"

"Aku tahu." Anwar menghela nafas lagi. "Tapi itu berbahaya bagi karirnya."

"Om tidak perlu khawatir. Kami pasti akan membantu Anna semampu kami."

"Jangan-jangan..." Anwar tiba-tiba teringat sesuatu. "Pembawa acara itu, kalian yang menyuruhnya?"

Karel mengangguk. "Kami sudah mengetahui hal itu akan terjadi. Didi sudah mengatur semuanya. Selagi Om tidak mengecewakan dia, semuanya akan baik-baik saja."

Anwar mengangguk mengerti. "Malam itu... mereka bertemu, kan?"

"Iya, Didi sangat senang mendengarnya."

Sejenak, Anwar terdiam. Kemudian kembali berbicara setelah memikirkannya cukup lama. "Karel, aku bukannya meragukan kalian. Aku tahu kalian pasti tidak akan mengecewakan kami selagi kerja sama kita masih terjaga. Kamu tahu, Rel, Anna adalah satu-satunya perhiasanku. Aku mungkin masih cukup sabar. Tapi Irina? Dia tidak akan segan-segan melakukan hal apapun kalau sampai Anna kenapa-napa. Semua ini terlalu beresiko. Anna juga masih sangat muda, dia belum terlalu dewasa untuk mengerti. Bagaimana jika istrimu--"

"Ada apa dengan saya, Om?"

Anwar terkesiap. Wanita itu tiba-tiba datang. Wanita yang selalu ia hindari kedatangannya. Tapi rupanya hari ini Anwar tidak cukup beruntung untuk menghindar.

Dia mengecup pipi Karel sejenak sebelum mulai duduk di samping suaminya. Wajahnya selalu sama, tanpa ekspresi. Hanya senyum miring yang kadang hinggap. Namun, bgeitulah caranya mengintimidasi lawan. Seketika, mulut Anwar kaku. Jangan sampai dirinya salah bicara. Akan sangat berbahaya nantinya.

Circle : The ReverengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang