02 Februari 2014
Sebelumnya, mencintai tidak pernah sesulit ini bagiku.
Bagaimana tidak jadi sulit kalau orang yang aku cintai adalah orang yang pernah mencintaiku mati-matian dan pernah aku tolak habis-habisan.
Iya, pernah. Artinya dia kini tidak lagi mencintaiku dan aku tidak lagi menolaknya.
Dia berlaku sebaliknya begitupun denganku.
Kadang aku mengutuk diri sendiri, kenapa rasa ini hadir ketika semua sudah serba terlambat.
Kenapa hati ini justru harus mengalir untuknya ketika arus dalam hatinya sudah berhenti untukku.
Aku pernah bertanya, lewat seorang teman, karena aku tidak punya sedikitpun keberanian untuk bicara lagi padanya, tentang bagaimana perasaannya kepadaku sekarang.
Temanku menjelaskan bahwa dia menjawab dengan nada yang datar, tidak lagi menggebu seperti dulu, dia dengan tenangnya berkata tidak.
Saya hanya tidak mau lagi memaksa. Lima tahun rasanya sudah cukup. Dan saya tidak menyesal meski akhirnya dia tetap tidak mau bersama saya. Saya pernah mencoba sekuat tenaga. Saya pernah meminta bahkan memohon. Saya sudah memberikan semua waktu dan pikiran untuk dia. Kalau dia memang tetap tidak mau, ya sudah. Setidaknya saya pernah berusaha. Dan lima tahun cukup untuk membuat saya tahu kalau saya sudah berjuang untuk orang yang salah.
Pernah tidak kamu merasakan sakit hati yang sebegitu dalamnya sehingga untuk menangis pun kamu tidak mampu?
Itulah yang sekarang sedang aku rasakan. Persis seperti itu. Aku mematung dihadapan temanku. Dengan bibir yang sedikit ternganga, dengan pandangan mata yang kosong.
Kemudian temanku berkata, "Lo kok bengong? Bagus deh kalau si Titan itu udah enggak ngejar-ngejar lo lagi. Artinya lo sekarang udah enggak usah cape-cape nolak lagi, kan. Aren't you feel free?"
Aku tersenyum. Terpaksa. Ingin sekali rasanya aku berkata bahwa aku menyesal, aku ingin kembali ke masa lalu, masa ketika Titan masih begitu mencintaiku.
Aku menghembus nafas dalam, mengeluarkannya perlahan. Mencoba menenangkan diri sendiri. Setiap detik waktu berjalan, membuat hatiku begitu kesakitan. Aku mencintai Titan. Dan dia tidak lagi mencintaiku.
***
01 September 2014, 11:00 WIB
Aku sedang menikmati pemandangan orang-orang yang sedang berlalu lalang dihadapanku. Ada yang terburu-buru. Ada yang berjalan santai sambil mendorong trolley yang berisi tumpukan koper. Ada juga juga yang sedang berlari ke arahku. Hah? Titan?
"Kenapa kamu enggak pernah bilang kalau kamu cinta sama saya?"
"Titan? Tahu dari mana kamu? Kamu ngapain di sini?"
"Saya enggak pernah tutup telepon duluan, Sarah."
"Astaga. Jadi, tadi kamu denger?"
Aku menepuk jidatku sendiri. Tuhan, kenapa aku harus sebegini bodohnya?
"Kenapa aku harus bilang? Kamunya juga udah enggak cinta lagi kan sama aku?"
"Saya emang berhenti berusaha buat ngedapetin kamu. Tapi rasa cinta ini enggak pernah bisa berhenti. Kamu enggak ngerti."
"Aku kan enggak tahu, Titan. Yang aku tahu, kamu udah enggak cinta lagi sama aku."
"Kamu enggak tahu karena kamu enggak pernah nanya."
"Aku.... Takut, Tan."
"Takut? Segitu takutnya kamu sama saya? Kenapa? Apa selama ini saya pernah sekali aja marah sama kamu? Apa saya pernah ngebentak kamu? Apa saya pernah kasar sama kamu? Enggak pernah, kan?"
Ini kali pertama aku merasakan lemas sebadan-badan. Aku sengaja mencari beasiswa kuliah di luar negeri untuk pergi sejauh mungkin dari Titan. Aku tahu kalau aku tidak sanggup melupakannya kalau kita masih berada di satu kota. Aku tidak bisa berhenti mencintainya kalau jarak kita masih sedekat ini. Meskipun aku tidak yakin kalau nantinya aku bisa dengan mudah melupakannya ketika kami sudah berada di negara yang berbeda. Kenapa orang yang aku hindari justru harus muncul dihadapanku 3 jam sebelum aku benar-benar pergi? Kenapa dia harus di sini? Kenapa dia harus membuat segalanya makin terasa sulit? Aku menundukkan kepalaku. Tidak tahu harus berbuat apa. Dan titan masih berdiri dihadapanku. Sedetik kemudian dia berjongkok tepat di depanku, hendak melihat wajahku dari dekat. Tuhan, aku bahkan tidak lagi berani untuk sekedar menatapnya.
"Saya udah siapin cincin ini dari lima tahun yang lalu. Ketika saya yakin kalau saya benar-benar cinta sama kamu. Saya enggak nyangka kalau cincin ini butuh waktu selama ini buat akhirnya bisa kamu lihat. Tapi saya enggak peduli. Selama apapun itu. Saya akan sangat senang kalau pada akhirnya, cincin ini bisa ada di jari manis kamu."
Aku melihatnya. Cincin emas putih dengan setitik berlian indah di atasnya. Ini bukan soal seberapa mahalnya nilai cincin itu yang membuat hatiku bergetar saat ini. Melainkan betapa berharganya kesungguhan Titan kepadaku, yang bahkan tidak bisa aku nilai dengan apapun. aku sungguh mencintainya, Tuhan. Terimakasih karena Engkau telah menghadirkannya untukku.
Aku menatap kedua matanya. Mata laki-laki yang begitu aku cintai. Aku mengangguk perlahan. Titan kemudian memasukkan cincin itu ke jari manis tangan kiriku. Aku tidak bisa lagi menahan tangis ini. Segala rasa telah bercampur dalam hatiku.
Kini aku tahu, tidak ada kata terlambat untuk cinta yang tepat.
***
01 September 2014, 10:00 WIB
"Halo... Titan?"
"Sarah, kamu flight jam berapa?"
"Masih empat jam-an lagi, Tan. Kenapa?"
"Kamu mau saya temenin, enggak? Kamu sendirian?"
"Iya aku sendiri. Kamu enggak usah repot-repot, Titan. Aku enggak usah ditemenin, enggak apa-apa kok."
"Yaudah, kamu baik-baik ya di sana. Belajar yang bener. Kalau udah beres kuliahnya, jangan lupa pulang ke Indonesia."
"Iya baweeeel..."
"Hahaha. Yaudah, bye Sarah."
"Bye, Tan....."
"........"
".... I love you... and you will never know."

YOU ARE READING
Tidak Ada Kata Terlambat Untuk Cinta Yang Tepat
Kısa HikayeTernyata butuh lima tahun untuk Sarah dan Titan menyadari siapa cinta mereka yang sesungguhnya.