CONSCIENCE || Page 1

664 80 44
                                    

Hati manusia sangat luas laksana lautan. Jika kau memupuknya dengan kebaikan maka lautan hatimu akan dihiasi oleh beraneka terumbu karang dengan ikan-ikan yang menari di sela-selanya. Namun, jika kau senantiasa membuang limbah penyakit hati ke dalamnya, maka lautan hatimu akan tercemari juga. Meskipun sejatinya hati manusia itu sangat luas.

HAPPY READING


Bagi seorang Kim Sohyun, kenyamanan adalah komponen terpenting yang harus dimiliki oleh sebuah rumah. Tak perlu mewah, namun hati selalu merasa rindu ingin pulang setiap langkah menciptakan jarak di antara keluarga. Seperti kata kebanyakan orang, rumah dan keluarga adalah tempat ternyaman untuk pulang di saat diri dilanda segala permasalahan hidup. Berselimut kehangatan, kasih dan sayang. Impian setiap jiwa yang rapuh.

Ya, suasana rumah seperti itulah yang senantiasa diinginkan oleh Sohyun. Lebih tepatnya, dirindukan.

Beberapa bulan belakangan ini, kenyamanan dan ketenangan Sohyun saat berada di rumah orang tuanya telah direnggut secara halus. Tidak ada izin terlebih dahulu, bahkan si pelaku semakin gencar menyerang batinnya ketika ia melakukan perlawanan.

Pelaku yang selalu mengulas senyum remeh setiap kali Sohyun melakukan pembelaaan, namun mampu memasang raut kesedihan dan sikap bersalah dalam sekejap mata. Pelaku berparas tampan nan dewasa, berusia lima tahun lebih tua darinya. Tutur kata yang sopan namun selalu berhasil menikam, bahkan mencabik relung hati terdalam.

Kim Seokjin.

Sosok yang belakangan bulan ini kerap melontarkan kalimat halus tetapi menusuk kepada adik semata wayangnya. Satu hingga dua kalimat sepele di mata seorang Seokjin.

"Kapan kau akan menikah?"

"Siapa pria yang akan menikahimu?"

Sepele, bukan?

Menurut kebanyakan orang, lebih tepatnya teruntuk mereka yang tidak mengalaminya. Ya, karena menurut persepsi Sohyun dan kebanyakan orang di muka bumi ini—seseorang akan memahami bagaimana perasaanmu apabila mereka juga mengalami hal tersebut.

Sohyun tidak suka. Sangat tidak menyukai dua kalimat keramat yang kerap dilontarkan oleh Seokjin ketika dirinya, Ayah, ibu tiri dan sang pelaku yang tidak lain adalah Seokjin—saat sedang menyantap sarapan ataupun bersantai di ruang keluarga—rumah orang tua mereka setelah pulang kerja.

Seperti pagi ini, Seokjin kembali lagi merusak suasana hati adik kesayangannya—begitulah pengakuan Seokjin.

"Jadi, kapan kau akan menikah?" tanya Seokjin di sela menyantap sarapan.

Sohyun yang duduk berhadapan dengan sang kakak mendengar kalimat terkutuk tersebut hanya sebatas angin lalu. Bersikap tenang dan tidak memedulikannya sama sekali, dua hal ampuh untuk menangkis serangan Seokjin. Setidaknya, hingga ia berhasil menghabiskan beberapa suap nasi lagi.

Menegakkan kepala, Seokjin terdiam beberapa detik seraya menelanjangi penampilan Sohyun dari ujung kepala sampai sebatas perut. "Apa kau tidak pergi bekerja hari ini?" tanyanya dengan kedua alis bertaut penuh keheranan.

"Ani. Kemarin, aku telah mengundurkan diri karena, merasa tidak sesuai dengan gaji yang mereka berikan kepadaku," jawab Sohyun dengan santainya, lantas menjejalkan sesendok nasi ke mulutnya.

"Eoh! Seharusnya kau tidak perlu melakukan hal itu," balas Mirae sembari memegang tangan kiri Sohyun yang berada di atas meja.

Ucapan lembutnya memecah atensi gadis yang sedang bersusah payah menahan emosi. Sedangkan, dua orang pria yang juga menikmati sarapan buatannya terlihat biasa saja—kembali melanjutkan sarapan mereka. Hingga ketika Seokjin menyudahi sarapannya dan kembali angkat bicara, atmosfer ruang makan pun berubah keruh layaknya air kubangan lumpur.

CONSCIENCE [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang