"Apa ini?" Laki-laki bertubuh tegap dengan wajah lumayan tampan itu tengah duduk di singgasananya. Ia bertanya penuh selidik ketika aku meletakkan sebuah kertas di atas mejanya.
"Kertas pak," jawabku polos.
"Saya tahu ini kertas. Bukan daun," jawabnya ketus.
Sudah tahu ini kertas, masih pakek nanya lagi, batinku.
"Ini surat pak," balasku lagi.
"Maksud saya, apa isi surat ini?" Ia mengambil dan membuka suratku.Laki-laki itu membaca dengan teliti. Matanya yang cerah terlihat begitu fokus.
"Pengajuan cuti pak," ucapku hati-hati.
Ia masih bergeming. Terlihat berpikir sebelum berucap.
"Masa pengambilan cuti dimulai lusa. Kenapa kamu mengambil sekarang? Minta penambahan cuti pula!" Ia terlihat kesal setelah membaca isi surat pengajuan cutiku.
"Saya tidak mengizinkan," lanjutnya lalu meletakkan kembali suratku di atas meja.
"Lho, tapi saya mau mudik pak. Kalo nunggu lusa busnya desak-desakan, penuh sama pemudik lainnya," kataku beralasan.
Semoga alasanku ini kuat.
"Keputusan saya tetap tidak!" Ia masih kekeuh dengan keputusannya.
"Tapi pak.."
"Tetap tidak!" bentaknya penuh penekanan.
Belum selesai ngomong sudah dipotong aja. pUntung aku kebal dengan segala gertakannya. Ruangan ini kedap suara. Kalau tidak, mungkin akan menimbulkan kehebohan bagi karyawan di luar sana. Punya bos galak bener, batinku lagi.
"Em.., pak. Saya mau pulang kampung. Saya rindu ibu di rumah," aku memberanikan diri untuk memelas. Mengandalkan kelemah-lembutanku kali ini."Dengan satu syarat," ia mengacungkan telunjuknya di udara, matanya tertuju padaku. Kali ini ia menatapku lekat-lekat. Hal tersebut membuatku gugup.
"Apa pak?"
Semoga saja syaratnya tidak anek-aneh, menengok pada bosku yang memang sudah aneh, batinku.
"THR kamu saya potong!" katanya ringan. Namun, asal kalian tahu, perkataan itu jauh lebih seperti nada mengancam. Kalau saja dia bukan bos sudah kugantung di pohon cabe.
"Apa?" pekikku. Saking terkejutnya aku sampai tercekik mendengarnya."Kalau kamu mau cuti lebih awal, maka THR kamu saya potong!" jelasnya.
"Jangan dong pak!"
Ya Allah begini amat yah mau pulang kampung. Ya kali aku pulang gak bawa duit. Bisa diceburin ke sumur sama emak. Mana emak udah minta baju baru sama menantu, eh!
"Saya ada tawaran untukmu," katanya lagi.Apalagi ini? Jangan sampai tawarannya ini membuatku sakit jantung, yang barusan saja sudah buat sesak napas.
"THR saya berikan dengan syarat.." ucapannya menggantung di udara. Kayak doi juga yang sering ngegantungin hubungan wkk.
"Pulang kampung bareng saya!" lanjutnya.
Apa? Barusan dia bilang apa? Boleh siaran ulang nggak?
Lelaki dihadapanku ini sebenarnya teman dan tetanggaku di kampung. Kami tak sengaja bekerja dalam satu perusahaan di kota metropolitan ini.Parahnya lagi, ia adalah atasanku di sini. Lalu jika kami pulang bersama, apa kata tetangga?
"Hah?" aku masih belum sadarkan diri. Sepertinya pendengaranku error atau otaknya yang sudah geser."Ini THR kamu." dia mengeluarkan amplop cokelat yang pasti isinya bukan daun kering. Lalu dia juga menandatangani suratku.
Dan aku? Aku masih membeku ditempat. Tak bergerak sedikitpun. Takutnya, jika gerak sedikit aku gagal dapet THR.
"Silahkan keluar ruangan." titahnya. Dengan bodohnya aku menuruti perintahnya."Ini bawa THR kamu!" sebelum aku beranjak, ia berdiri dan menyerahkan amplop ke tanganku. Dan aku lagi-lagi menerimanya seperti orang bodoh.