BAB 4

27 2 0
                                    

Kinar

Hee yamko rambe yamko aronawa kombe, Hee yamko rambe yamko aronawa kombe

Teemi nokibe kubano ko bombe ko, Yuma no bungo awe ade

Teemi nokibe kubano ko bombe ko, Yuma no bungo awe ade

Hongke hongke hongke riro, Hongke jombe jombe riro

Hongke hongke hongke riro, Hongke jombe jombe riro

Dengan berbalutkan pakaian khas suku Papua, aku sangat bersemangat menarikan tarian perang khas Papua ini dengan anak-anak ini. Kami berputar, berlari, melompat mengikuti irama lagu yang kami nyanyikan.

"Bu Kinar, lihat ke sini...biar aku foto" ujar Toba dengan logat khasnya seraya membidikkan kamera ke arah Kinar.

Akupun langsung memasang pose tersenyum dan menatap ke arah kamera yang dipegang Toba.

Tak perlu menunggu deburan ombak menyapa sang senja

Tak perlu menunggu burung-burung berterbangan untuk pulang

Insan kecil Mu ini bahagia, wahai sang penguasa

Mereka bahagia tanpa perlu kau sodorkan hingar bingar kemewahan bumi ini

Kinar.

"Bu Guru Kinar...ayo menari lagi" tarikan tangan dari anak-anak yang kembali mengajakku menuju kerumunannya itupun langsung membuatku memasukkan buku kecil merahku ke dalam tas dan kembali terhanyut dalam kesenangan ini.

Begitu selesai dengan kegiatan menari-nari, aku pun kembali menghampiri anak-anak tersebut dan turut serta bersama-sama menyiapkan acara senang-senang kami selanjutnya. Kami akan mulai melakukan pesta kecil dengan beberapa kudapan khas Papua sembari menikmati pemandangan senja sore di pantai Raja Ampat ini.

Hari ini adalah hari terakhirku berada di Papua, dan besok aku akan langsung kembali Jakarta lagi. Itulah mengapa anak-anak ini menyiapkan segala sesuatu seindah ini untukku. Sudah pasti aku terharu dengan apa yang mereka lakukan untukku ini. Aku selalu membenci momen-momen perpisahan seperti ini di setiap petualanganku. Tapi bukankah bertemu diciptakan untuk akhirnya berpisah. Aku sebagai manusia hanya harus taat pada segala hal yang sudah ditentukan ini.

Aku sampai di Jakarta dengan disambut oleh Senja sahabatku. "Selamat datang Bu Guru Kinar" ujar Senja seraya langsung memelukku.

Jakarta masih panas dan tak menunjukkan perubahan apapun. Entah aku yang memang enggan mengenal Jakarta lebih dekat lagi, atau memang Jakarta yang enggan menerimaku, namun rasanya kota ini tak pernah memberi kesan dalam hidupku.

"Lo bakal stay berapa lama?" tanya Senja dalam perjalanan menuju rumahku.

"Emm.. belum kepikiran sih. Tapi gue tertarik untuk ke daerah sabang" ujarku membayangkan kota-kota yang terletak di belahan pulau Sumatera.

"Kinn!!! Seriously?!!" Senja tampak menaikkan satu oktaf nadanya dengan wajah yang seolah-olah siap menerkamku.

"Yes i'am Senja...ibu gue aja gak berhasil ngehentiin gue, percuma Senja" ujarku seraya melemparkan tawa menyeringai ke arah Senja.

Senja ini adalah sahabat terdekatku. Mungkin lebih tepatnya sahabat satu-satunya yang kupunya sedari dulu. Kami sempat terpisah karena aku yang harus pindah dari Solo ke Jakarta. Tapi kemudian Senja melanjutkan kuliah di salah satu universitas swasta di Jakarta. Itulah awal mula kami bertemu lagi setelah berpisah saat SMP. Meski tingkah hingga kepribadianku dan Senja sangat bertolak belakang, namun hanya Senja lah yang menurutku paling bisa mengerti apapun tentangku. Tentang kebiasaanku, kesukaanku, ketidaksukaanku, hingga Senja juga yang paling mengerti tentang petualangan-petualanganku ini.

RasaWhere stories live. Discover now