Sepanjang perjalanan pulang, aku masih terus terpikirkan oleh ucapan Gani padaku. Benarkah kalau aku harus mulai berhenti dan mengurusi kehidupanku. Cukupkah semua yang sudah kuberikan selama ini?
"Jadi mau ikut atau enggak?" pertanyaan Gani yang saat ini tengah fokus menyetir motornya itupun seketika kembali menbuatku tersadar.
Aku dan Gani menghabiskan waktu berjam-jam lamanya di warung kopi itu hingga berakhir dengan ia yang memaksa untuk mengantarku pulang.
"Ikut ke mana?" tanyaku padanya.
Gani yang mungkin tak mendengar apa yang kuucapkan itupun memintaku untuk mengulangi ucapanku.
"Ikut ke mana Bapak Gani?!" kini dengan suara lebih lantang seolah siap memecahkan gendang telinga siapapun yang mendengarnya.
Namun alih-alih menjawab pertanyaan yang kurasa sangat jelas kuucapkan itu, Gani malah menghentikan motornya di dekat sebuah gerobak pedagang kaki lima. "Suka ronde gak?" tanyanya.
Aku menggeleng menolak. Setelah melepaskan helm nya yang kemudian kuikuti, ia pun memesan satu wedang ronde dan menyuruhku untuk duduk di sampingnya. Sembari menunggu pesanannya, Gani tampak mengaduk-aduk isi tasnya, entah apa yang kini tengah dicarinya. Tak butuh waktu lama, Gani kemudian mengeluarkan sebuah lembaran kertas yang tampak seperti sebuah tiket.
"Kalau kamu mau, aku tunggu minggu depan di bandara jam 7 pagi" masih diselimuti rasa bingung, akupun menerima kertas yang ternyata adalah sebuah tiket tersebut dari tangan Gani.
Di sana tertera namaku lengkap dengan tujuannya. "Sulawesi?" tanyaku pada Gani.
Gani mengangguk dan sebelum sempat menanggapi pertanyaanku, percakapan kami terhenti saat seorang bapak-bapak penjual wedang ronde yang Gani pesan datang mengantarkan pesanan Gani.
"Aku yakin kita bisa sama-sama saling mengenalkan apa yang kita sukai. Karena sejujurnya, aku benar-benar ingin kembali dilibatkan dalam setiap petualangan-petualanganmu Nar." Saat mengatakan hal itu, Gani sukses membuatku diselimuti rasa haru.
"Kamu gak melarang aku untuk pelan-pelan memperbaiki semuanya lagi kan Nar?"
"Apa sih yang perlu diperbaiki Ga? We're fine..dulu dan bahkan sekarang"
"Tapi kamu mutusin aku. Itu yang gak baik-baik saja buat aku"
Gani
"Makasih ya Ga, udah dianterin pulang." Seharian ini aku benar-benar puas melihat tingkah malu-malu Kinar.
"Iya...aku pulang ya," tanpa meminta izinnya, perlahan aku memberanikan diri untuk mengecup singkat puncak kepala Kinar.
Aku hanya tersenyum melihat wajah Kinar yang tampak terkejut, namun juga tampak tak kesal dengan apa yang baru saja kulakukan.
"Bentar Ga..." Aku yang sudah hendak menaiki motor pun kembali terfokus ke arah Kinar. Kini ia tampak memutar-mutarkan tubuhnya dan mengucapkan sesuatu yang entah apa itu. Setelah memutar-mutarkan tubuhnya, Kinar mengulurkan tangannya ke arahku dengan mata yang memberikan isyarat agar aku menyambut uluran tangannya.
Dengan masih diselimuti rasa bingung, aku pun mengulurkan tanganku yang kemudian digenggam langsung oleh tangan Kinar. "Cap, stempel, kunci" ujarnya seraya kemudian menempelkan jari jempolnya ke keningnya dan dilanjut ke keningku.
Aku hanya tertawa renyah melihat tingkahnya ini.
"Tadi aku baru saja mengadakan ritual memohon mimpi indah pada bulan. Dipastikan tidurmu malam ini akan nyenyak" Kinar berucap dengan penuh keyakinan yang disertai dengan senyuman menyeringai. Aku benar-benar tak dapat menahan tanganku untuk kini mengacak-acak rambutnya dengan tatapan gemas. Sebelum pikiranku semakin dibuat kacau karena Kinar, akupun segera pamit padanya.
YOU ARE READING
Rasa
ChickLit---Sinopsis--- "Duniamu itu unik Nar, dan aku menyukainya meski merepotkan" -Gani- "Kalau aku disuruh memilih kamu atau mereka, maaf aku tidak bisa Ga" -Kinar-