- tigabelas; Sensoji dan Kenangan -

276 24 38
                                    

"Dhit, bangun,"

Yang dipanggil hanya melenguh malas dengan mata yang masih terpejam. Surai hitamnya berantakan, beberapa anak rambut menutupi wajah pulasnya. Beberapa panggilan dari sang sahabat pun tak diindahkannya, membuat pemuda yang lebih tua darinya itu menggelengkan kepala.

"Tangi'o," (bangun, woi)

"Ngantuk,"

"Ashsalatu khairum minan-naum," bisiknya, tepat di telinga Adhit yang masih saja malas untuk beranjak. "Subuhan, woi."

"Udah, duluan malah. Habis itu tidur lagi," Ia pun mendudukkan diri, lantas mengusap matanya menggunakan punggung tangan. Masih setengah sadar juga pusing, membuatnya tak melihat ke mana ia hendak melangkah.

Bruk!

"Aduh," rintihnya pelan, antara terkejut dan merasa pusing. Ia pun mendongakkan kepala, menatap sosok yang tadi ditabraknya.

Nelson.

Yang ditatap tak memberikan respon apapun selain sepatah kalimat, "hati-hati, nanti jatuh," lalu menghilang di balik pintu kamar mandi, sesaat setelah Erpan yang baru saja menggunakannyaーkeluar dengan wajah heran.

"Kenapa tuh bocah? Masih marah?"

"Gak yakin," Zen mengendikkan bahunya, lantas menatap pemuda mungil yang tengah mematung di sebelahnya. "Gimana, Dhit?"

Ia hanya diam, mematung di tempatnya berdiri dan menabrak Nelson tadi. Percakapan semalam terputar kembali di benaknya, percakapan yang entah mengapa aneh, walau keduanya sudah saling meluruskan salah paham. Adhit tak tahu, apa yang salah? Apa lagi yang Nelson sembunyikan darinya, sejak setahun tak pernah bertemu dan berkomunikasi?

'Gue gak akan pernah marah karena hal itu, Dhit. Gue gak akan jadi orang bodoh yang rela ngorbanin persahabatan demi perasaan pribadi kayak gini,'

Kalimat itu terus menggentayangi pikirannya, memburu rasa penasaran, juga kekesalan. Perkataan 'permintaan maaf diterima' dapat membuatnya lega sesaat. Namun, kenapa sekarang tidak? Justru rasanya makin sesak. Seakan tak ada kata maaf lagi untuk dirinya, walau sampai detik ini, ia tak tahu apa yang disembunyikan oleh Nelson.

"Dhit, diem aja?"

"Eh? Oh, iya, tadi malem udah minta maaf. Katanya, sih, udah dimaafin. Sans ae. Gue juga udah gak kenapa-napa,"

Zen hanya manggut-manggut. Ia memang tak ingin terlalu mengulik selama Adhit belum cerita langsung padanya. "Yaudah, gue keluar dulu. Mau nyari angin."

"Hu'um,"

Sementara itu, Erpan justru menatap Adhit, sangat dalam. Manik kecokelatan itu seakan menyelami sang manik sekelam lautan. Ia tahu, ada kebenaran atas ungkapan yang disembunyikan di balik samudra hitam itu. "Lo bilangin kita biar santai, padahal lo sendiri enggak bisa. Kenapa harus memaksakan, Dhit?"

"Memaksakan gimana?" Ia balik menatap sang manik cokelat. "Gue bilang yang sejujurnya, Pan."

"Iya, gue tau lo jujur. Tapi, masalah perasaan lo? Seratus persen bohong,"

Mendengar penuturan Erpan, ia pun tersenyum kecil. Tangannya meraih pundak sang pemuda yang lebih tua, lantas mendongakkan kepala untuk menatap manik itu lebih jelas. "Gue gak mau nantinya malah kebawa pikiran. Kayak kata Zen; kita harusnya seneng-seneng di sini. Dan Nelson? Gue juga gak mau ngelukain perasaan dia dengan bersikap gak percaya sama perkataannya."

"Jangan sok kuat, deh. Nangis aja sana, timbang sok tegar dan malah bikin lo keliatan sengsara," kalimatnya begitu ia tekan, disertai tatapan tajam yang difokuskan untuk sang pemilik surai hitam di hadapannya. "Lo bilang gitu udah bikin gue sakit hati."

Lies [BeaconCream × 4Bro]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang