- sembilan; Sampai -

439 41 60
                                    

Udara dingin begitu antusias menyambut kedatangan mereka. Sampai tak segan memeluk erat tubuh berbalut jaket itu. Benar-benar dingin yang menusuk tulang.

Sudah pukul tujuh malam waktu Tokyo. Rasanya lama sekali harus menahan pegalnya badan akibat duduk selama 8 jam di kursi pesawat. Sekarang lelah itu terbayar dengan pemandangan indah kota Tokyo di malam hari.

"Jadi gini Jepang itu. Rasanya kayak mimpi gue dari kecil bisa kewujud," Zen merentangkan kedua tangannya, menghirup udara yang dingin namun segar itu.

"Cielah, sok puitis aja lo," Erpan terkekeh. Tanpa sadar menciptakan kepulan asap yang melayang di udara. "Bukannya kata lo; asal pergi sama kalian, ke mana aja itu serasa impian yang gak pernah bosan diimpikan?" Pemilik surai hitam-pirang itu menyenggol lengan Zen, memasang wajah yang menyebalkan.

"Karna, gue sayang kalian," Zen merangkul Adhit--yang sibuk membuat Instastory--, lalu menjulurkan lidahnya pada Erpan.

Kesal, Erpan balas mendengus. "Makasih! Gue juga sayang gue!"

"Oohh, sayang gue? Makasih," celetuk Adhit tiba-tiba. Ketiganya tertawa bersama.

Nelson tersenyum melihatnya. Lega. Akhirnya bertemu, saling membalas rindu. Rasanya setiap kata yang diucapkan mengandung sejuta pembalasan untuk kerinduan yang sempat mengganas.

Tak disangka, matanya memanas. Membendung kesedihan dalam waktu yang tidak sebentar, diselimuti rasa bersalah dan dusta, bahkan--dalam tanda kutip-- sendirian. Sudah lama ia ingin melelehkan air mata ini. Sejak setahun lalu, kejadian yang merubah hidupnya.

Stok air matanya seakan habis saking banyaknya yang dialirkan pada malam itu. Tenggorokannya sakit, lelah memanggil nama yang telah pergi. Hatinya membeku, tak ingin mengingat apa yang terjadi tepat di depan matanya.

Apalagi bayangan akan reaksi wajah ketiga sahabatnya saat tahu apa yang disembunyikan. Nelson tak sanggup. Hatinya teriris. Matanya semakin memanas dan pandangannya kabur.

Ia masih ingin mendengar berbagai nasihat dari Zen. Masih ingin merasakan cubitan Erpan yang kerap diberikan untuk lengannya. Masih ingin menyaksikan Adhit menampakkan senyuman madu. Tak mau senua digantikan dengan tangisan, kebenciaan, ataupun kekecewaan.

Pandangannya benar-benar kabur sekarang. Manik hitamnya bergenang air mata, pipinya basah, mulutnya terkatup rapat. Menangis dalam diam, antara senang dan tidak rela.

'Yura, gimana kabar lo? Gue udah sampe. Berharap bisa ke rumah lama, sampein salam yang selama ini terkubur dalam. Tapi, lo tau gue belum siap, kan?'

Nelson memandang telapak tangannya yang basah akibat hujan deras pada dirinya. 'Lihat, Ra. Yang selalu lo dambakan udah dateng. Senyum madu itu muncul lagi, Ra.'

"Nel!"

Matanya membelalak, terkejut. Secara spontan menghapus air mata yang masih bertengger di pipinya. "Kenapa, Dhit?"

"Lo," Adhit memicingkan mata, memerhatikan manik lawan bicaranya yang benar-benar basah. "--nangis?"

"Enggak," mengusap matanya yang jelas-jelas merah, memasang senyum secerah mungkin. "Hawanya dingin, sampe nusuk mata," jawabnya, tertawa hambar.

"Jangan bohong lo," Adhit menajamkan pandangannya, menyelidik. Nelson menelan kasar ludahnya. "Lo terharu kannnn?"

"Eh?"

"Jangan bohong, cuk," tertawa lagi, sembari menyenggol lengan Nelson. "Udah ah. Malah nangis lo!"

"E-Eh, iya. Ahahah--" sekali lagi tertawa hambar. Tak mengerti dengan apa yang baru saja Adhit bicarakan. Saat ini, otaknya sedang lemot untuk mencerna perkataan Adhit.

Lies [BeaconCream × 4Bro]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang