- sepuluh; Malam Dingin di Tokyo -

346 38 24
                                    

"BANGUN, WOIIIIIII,"

Mengerjapkan matanya yang masih terasa berat, kesal karena tidurnya diganggu dengan cara yang tidak menyenangkan. Lenguhan malas terlontar, tanda bahwa ia belum ingin dibangunkan.

"Yang ngajak ngebo, yang pertama kali setuju sama ajakannya juga ngebo," Erpan mendengus sebal, masih berusaha membangunkan Nelson dengan cara menarik-narik kaki pemuda itu.

"Jadi makan gak, weh?!"

Seketika, Nelson terbangun. Duduk, lantas menatap Erpan dengan tatapan berbinar. "Makan?"

"IYA, CEPETAN BANGUN,"

Nelson tersenyum girang, lalu menepuk-nepuk pipi pemuda yang tertidur di sebelahnya. Tak lama, pemuda itu sadar dari alam mimpi. Setelah mendengar kata 'makan' untuk yang ke dua kalinya dari Erpan, Nelson dan Adhit langsung bersemangat.

"Giliran makan aja pada semangat. Cuih,"

Atensi sepenuhnya dipusatkan pada pemandangan indah kota Tokyo di malam hari. Gemerlap cahaya warna-warni menghiasi gedung-gedung yang menjulang tinggi bak pencakar langit. Sedikitnya kendaraan yang berlalu-lalang membuat suasana bersih dan damai, seiring keempatnya terus melangkahkan kaki.

"Indahnya Jepang kayak gini, anjir," Erpan terkekeh, masih terkagum-kagum menyaksikan pemandangan malam hari itu. Berjalan kaki memang ide yang bagus. Toh, restoran yang akan mereka tuju jaraknya tak terlalu jauh dari penginapan.

"Udeh, udeh. Udik banget lo," protes Adhit, yang akhirnya mendapat jitakan penuh kasih sayang dari Erpan.

"Udikan mana sama yang tadi nabrak tiang gara-gara melongo terus liatin gedung?!"

"Iya, iya. Serah!"

Keempatnya tertawa bersamaan, hingga tak sadar bahwa mereka sudah sampai di depan tempat yang dituju. Kedai ramen, begitu sekiranya yang tertera di papan nama bertuliskan aksara Jepang.

Kedai yang mereka tempati tak begitu luas, namun juga tidak sempit. Sederhana, namun indah. Banyak interior tradisional yang dipajang di sana.

Mengambil posisi duduk di meja yang memanjang bak kursi warteg, dengan urutan duduk; Adhit, Erpan, Zen, dan Nelson.

"Gue punya tebakan, nih," Adhit buka suara, bergantian menatap ketiga sahabatnya. "Tuh, liat ada foto pemilik kedai ini?"

Ketiganya langsung memusatkan perhatian pada foto yang ditunjuk Adhit, menampilkan sosok seorang pria lanjut usia yang sepertinya adalah pemilik kedai tersebut.

"Kenapa pemilik kedai ramen ini cowok?"

"Ya siapa tau istrinya mau jadi ibu rumah tangga aja,"

"Ih sotoy lo, Pan,"

"Ya kan nebak doang, cuk,"

"Mau banget dikasih tebakan sama Adhit? Gue yakin gak bakal masuk akal jawabannya,"

Adhit terkekeh, terlihat bangga karena ketiganya tak bisa menjawab pertanyaan darinya. "Karna ini kedai ramen. RaMEN. Cowok, kan? AOWKAOWKAOKW."

Krik.. krik..

"Ih, jancuk, ya, gak ada yang ketawa,"

"GARING ANJIR,"

"Lo harus belajar banyak dari gue, Dhit. Humornya makhluk Bumi emang, ya, rendah banget. Gak paham lagi gue,"

"Udah dibilang, kan, limabelas detik kalian terbuang percuma,"

Adhit menjulurkan lidahnya ke arah tiga sahabatnya, tampak seperti anak kecil yang tengah kesal dengan kakak-kakaknya yang menyebalkan. Ketiganya tertawa puas. Mengerjai Adhit memang sesuatu yang mampu membuat mereka senang.

Lies [BeaconCream × 4Bro]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang