- duabelas; Sebelum Tidur -

296 31 30
                                    

"Gak masalah," pemuda bersurai hitam-pirang itu pun tersenyum hingga kedua matanya menyipit. Tangan kanannya ia sodorkan ke hadapan sang sahabat, mengisyaratkan ajakan untuk beranjak. "Ayo, balik. Ada yang lagi resah karna nunggu jawaban dari lo, buat ngelurusin salah paham ini. Lo udah gak papa, kan?"

"Iya, gak papa,"
***

"Mau cerita?" Zen tersenyum hangat sembari menepuk tempat kosong di tepi ranjang. Tercetak jelas di wajahnya, ia sudah menyiapkan berbagai nasihat untuk menanggapi curhatan Adhit. "Duduk, sini."

Adhit hanya menurut. Ia menduduki tempat kosong di sebelah sahabatnya itu. "Gue salah, ya?"

"Gak ada pihak yang bisa disalahkan, Dhit. Salah paham mungkin jadi kata yang tepat buat menggambarkan suasana sekarang ini," pemuda manis itu menjatuhkan atensinya pada manik kelam sang lawan bicara. Begitu mendalam, menyiratkan ketenangan yang seakan mengatakan; 'semuanya baik-baik saja.'

"Apa Nelson memang gak setuju, ya, gue mau nyatain perasaan ke Yura?" Adhit menunduk. Ia benar-benar merasa bersalah. "Gue takut, Zen. Nelson pernah menghilang gitu aja, bahkan belum lama ini dia baru mau kembali ke rangkulan kita. Sekarang, malah jadi runyam kayak gini. Gue gak tau apa permasalahannya. Gue butuh penjelasan dari dia."

"Untuk masalah itu, memang gak ada yang tau selain Nelson sendiri dan Yang di Atas. Yang bisa gue bilang, mungkin, untuk saat ini, Nelson butuh waktu sendiri untuk mengatasi masalahnya yang entah apa itu."

"Gue gak tau apa yang menjadi landasan Nelson buat bawa emosi perihal ini. Tapi, firasat gue mengatakan, ada sesuatu terjadi, dan itu berat buat dia," senyumnya yang sempat luntur kini terbit kembali. Tangannya mengusap lembut surai hitam milik pemuda mungil di hadapannya, guna menyalurkan ketenangan. "Kita hanya bisa nunggu Nelson sendiri yang cerita. Jadi, jangan dibahas lagi, ya? Kita, kan, mau liburan sekarang. Mau seneng-seneng, melampiaskan kangen."

Terdiam sejenak, berusaha menyerap dengan baik kalimat yang dilontarkan barusan. Setelahnya, ia mengangguk dan tersenyum seperti bocah yang baru saja selesai menangis. "Iya, Zen. Maaf."

"Antara lo sama Nelson, pada suka minta maaf kenapa sih, njir? Heran gue. Gue kasih tau, cuk, lo berdua gak ada salah. Gak usah minta maaf,"

Terkejut atas suara lain yang datang dari pintu masuk, membuat keduanya spontan menoleh secara bersamaan. Sang sumber suara hanya tersenyum dari ambang pintu, sedangkan pemuda jangkung di belakangnya menunduk canggung.

"Gak usah canggung-canggungan! Kayak baru kenal aja, pake malu-malu tai segala!" Erpan menarik lengan Nelson, membawa pemuda itu masuk ke dalam kamar penginapan.

Adhit bungkam, ia tak tahu harus berujar apa untuk menepiskan kecanggungan antara dirinya dengan Nelson. Mungkin saja, sepatah kata darinya malah akan memperumit keadaan. Ia memutuskan untuk diam sampai hati kecilnya tergerak untuk angkat suara.

"Dah, gue mau tidur. Capek ngalong mulu, ntar gantengnya ilang," Erpan terkekeh pelan sembari mengusap wajahnya yang basah menggunakan handuk bersih. Sudah menjadi kebiasaannya untuk selalu mencuci tangan dan muka seusai berpergian.

Zen mengangguk sekilas, lantas memosisikan dirinya untuk berbaring senyaman mungkin di ranjang, begitu juga dengan Erpan. Perjalanan jauh membuat tubuh mereka amat lelah.

Nelson masih mematung di depan wastafel, begitu pula dengan Adhit yang terduduk di tepi ranjang, menatap kosong entah ke mana. Bukan kebetulan, melainkan apa yang sudah direncanakan secara mendadak. Erpan dan Zen mencoba membuat sahabat mereka itu berbaikan, sehingga keduanya memutuskan untuk tidur lebih awal. Tak ingin mengganggu, begitu katanya.

"Gue mau tidur," lirih, juga tak berekspresi. Kaki jenjangnya melangkah perlahan menuju ranjang putih yang ditempati oleh seorang insan lain, yang tak lain adalah sahabatnya sendiri. Tak ada pembicaraan lebih lanjut. Nelson hanya berbaring membelakangi Adhit yang masih saja duduk di tepi ranjang.

Lies [BeaconCream × 4Bro]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang