- enambelas; Merombak Jadwal -

187 20 28
                                    

Angin dingin berhembus kencang, menerpa wajah dan mengibaskan anak rambut menjadi berantakan di sekeliling muka. Bersamaan dengannya, matahari tersenyum lebar dengan memancarkan kehangatan untuk melapisi dinginnya Desember di Tokyo.

Pukul duabelas siang yang dingin sekaligus hangat. Keempatnya sibuk berjalan menelusuri Asakusa, berusaha menemukan hal menarik lainnya untuk menunggu hingga malam tiba. Berada di Sensoji saja membuat mereka sedikit bosan saking ramainya.

"Masih jam duabelas, Yang. Keburu lumutan kalo nunggu malemnya di Sensoji terus," ujar Erpan, berbicara di telepon dengan sang kekasih yang berada di Indonesia. Pria bersurai hitam-pirang itu mengangkat ponselnya sembari senyum-senyum sendiri, seperti orang kurang waras.

"Iyaa, Sayang," begitulah kalimat terakhir yang ia lontarkan sebelum akhirnya sambungan telepon terputus.

"Udah sayang-sayangannya? Yuk, ah, gue laper," Adhit menatap sinis Erpanー yang tampak tak peduli dengan perutnya yang terus berteriak kelaparan.

Sebenarnya, mereka hendak pergi ke suatu restoran terdekat untuk makan siang. Yah, rencana hari ini sedikit kacau, mengingat banyaknya pertengkaran yang terjadi sejak kemarin, membuat jadwal jadi berantakan.

Keempatnya berjalan berdampingan, sesekali mengobrol, namun ada pula yang sibuk dengan ponselnya.

Si pemuda jangkung berkacamataーNelsonーsibuk memandangi lockscreen ponselnya yang menampakkan fotonya dengan keempat sahabatnya; Adhit, Erpan, Zen, serta Yura.

Kini, atensinya beralih pada tanggal yang tertera di pojok kiri atas layar ponsel. 31 Desember 2019, tak terasa tahun sudah akan berganti. Memikirkan hal itu membuat Nelson makin risau, terlebih mengingat nanti malam akan ada pesta kembang api yang makin mengingatkan ia pada Yura.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Nelson tidak menyadari bahwa waktu terus berputar selagi ia bernaung di bawah alasannya untuk terus diam, dan terus mengubur fakta.

Lama sekali ia mengamati layar ponselnya sembari terus berjalan, membuat lelaki mungil yang berada di sampingnya sedikit risau. Kelakuan Nelson memang selalu aneh sejak hari di mana mereka membahas hilangnya Yura, juga, hari di mana pertengkaran kecil itu di mulai.

Adhit menggigit bibir bagian bawahnya, sedang berpikir, apakah lebih baik ia diam, atau ajak bicara saja sahabatnya itu?

"Nel?" Pada akhirnya, opsi membuka topik-lah yang dipilihnya. "Liatin hp mulu, ntar nabrak baru tau rasa."

Hanya tertawa tanpa niat membalas, membuat Adhit ikut mengamati layar ponsel milik sahabatnya itu. "Penuh kenangan, ya? Jangan dilihat terus, 'manik arang' lo gak cocok nyalain kesedihan."

"Maaf,"

"Kenapa?"

"Udah marah-marah karna hal yang gak bisa gue atur," ia tersenyum lebar sembari memasukkan kembali ponselnya ke dalam kantong. "Tahun-tahun indah itu, ya selamanya bakal jadi kenangan indah. Gue salah karna mencoba cegah kalian untuk mengenangnya."

"Gak usah minta maaf, karna apa yang terjadi sekarang juga gak bisa sepenuhnya kita atur, Nel," Adhit berkata lirih sembari memandangi punggung Erpan dan Zen yang sengaja berjalan mendahului mereka. "'We didn't realize we were making memories. We just knew we were having fun.' Quotes itu rasanya relate banget sama kejadian ini. Paham maksud gue, kan, Nel?"

Nelson terdiam sembari mengangguk. Adhit hanya tersenyum karena merasa cukup atas jawaban itu.

Tak terasa, sebuah restoran sudah ada di depan mata. Dindingnya berwarna putih gading berpola batu bata, dengan lebar sekitar empat meter. Pintunya tidak terlalu tinggi, namun terkesan elegan dengan kayu hinoki berwarna cokelat gelap dan jendela kecil di bagian atasnya.

Lies [BeaconCream × 4Bro]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang