7. Coda.

703 96 9
                                    

Jongin memilin jari-jemarinya yang mulai terasa dingin. Kakinya dihentak tanpa jeda layaknya senandung mars. Sudah lupa rasanya gugup begini. Kapan terakhir? Tiga tahun lalu? Empat tahun lalu? Entah kapan. Rasanya sangat berbeda ketika dia menenteng gitar dan efeknya; karena kali ini dia membawa banyak lembar kertas partitur untuk konser. Iya, konser dilaksanakan kurang dari empat jam dari sekarang.

Dia bersiap di belakang panggung, untuk melaksanakan rehearsal terakhir. Dia sudah duduk di belakang piano, sembari membolak-balikkan kertas bertuliskan not kecambah itu. Mereka masih menunggu beberapa personil yang belum datang, termasuk Kyungsoo yang masih sibuk dengan persiapannya di rumah. Mereka tidak pergi bersama karena Jongin harus berangkat lebih dulu untuk bertemu dengan teman-teman band nya: membicarakan persiapan festival yang lama tidak dilakukan. Hari itu dia hanya berangkat bersama Phony, dan mungkin akan pulang lebih awal nanti. Kebetulan, ayah Jongin sedang ada di Korea. Jadi, selepas konser nanti, keluarga mereka akan makan malam bersama. Hal yang Jongin rindukan beberapa saat belakangan: kehadiran sang ayah yang tidak setiap hari ada.

Ia menepis poni rambutnya yang sudah memanjang, sedikit menyesal karena tidak mengikuti anjuran ibunya untuk segera memotong rambut. Dia bersikeras untuk membuatnya terurai. Agar nanti, saat festival akhir tahun tiba, surainya sudah siap untuk menari bersama. Jongin masih belum mengenakan jas untuk konser, ia masih mengenakan jaket jeans berwarna biru gelap, dan celana senada. Masih menjadi Kim Jongin sang mahasiswa tenar.

Kabar di mana semua tiket terjual habis membuat nyalinya semakin ciut. Dia merasa sedikit takut untuk melakukan kesalahan nanti. Jika sedang di atas pentas bersama gitarnya, dia menjadi Kim Kai yang beraura angkuh layaknya enggan didekati. Namun saat ini, dia merasa sebagai anak beruang yang baru saja lahir; membutuhkan sebuah pelukan agar lebih tenang saat melangkah. Riuh percakapan dari personil lain tidak begitu terdengar di telinga Jongin. Rasa gugup terlalu mendominasi dirinya sekarang. Konsentrasinya terpecah belah; bahkan ia tidak menyadari jika banyak dari yang lainnya sudah mengenakan jas atau gaun untuk pentas. Jongin terlalu sibuk dengan otaknya sendiri, kecemasan dan rasa tidak percaya diri membuatnya ringsut.

"—Jongin!" seruan itu membuatnya mengerjap beberapa kali, sebelum akhirnya tersadar jika ia sudah menjadi pusat perhatian. Di mana yang lain sudah memperhatikannya dengan wajah penasaran.

"Iya?" Jongin menjawab seruan Luhan baru saja, "Ada apa, Luhan Hyung?" tanyanya.

Luhan hanya tertawa, "Kau terlihat sangat gugup sekarang. Kau tidak apa-apa?"

Jongin hanya bisa menggaruk kepalanya kikuk, "Ini menjadi konser pertamaku sebagai pianis setelah sekian lama. Jadi aku pikir... bukankah serasa wajar jika aku merasa gugup?" ucapnya.

"It's okay, Jongin. Kau akan sempurna nanti," Luhan kemudian berdiri di samping Yixing dan mulai memberikan arahan pada yang lainnya, "kita tinggal menunggu beberapa orang lagi—oh, vokalis kita masih belum datang memang. Tapi sebentar lagi—" ia menoleh ke belakang, "itu mereka! Rehearsal akan dimulai sebentar lagi, teman-teman!"

Perhatian Jongin kemudian tersita pada seseorang yang baru saja masuk. Ia tersenyum kecil, apalagi ketika melihat dia, sudah siap dengan setelan jas berwarna putih. Langkah kaki lelaki itu cukup tergesa, namun terlihat malu. Dia dan ketiga vokalis lainnya tentu menjadi orang-orang yang paling ditunggu saat ini. Rasa gugup Jongin menguap begitu saja. Yang ada, saat ini dia tersenyum dengan bodoh—bahkan terkesan lupa dengan apa yang akan ia lakukan sebentar lagi. Bola matanya yang sedari tadi sibuk dengan lamunan, saat ini terfokus pada orang yang sedang menenggak minumannya. Tatapan Jongin penuh dengan harapan agar terbalas, walaupun sepersekian detik kemudian asanya terkabul. Sorot itu bersambut, dan berhasil membuat Jongin tertawa dengan sendirinya.

SWEET AND SOURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang