IKUT AKU!

12 1 0
                                    

Sudah 2 hari ,briant terus murung dihadapan seila. Maka dari itu seila berniat akn menghiburnya ketempat yang ia rahasiakan dari semua orang.

Pulang sekolah seila langsung menarik tangan btiant yang baru saja keluar dari kelasnya. Tentu tanpa izin si pemilik tangan yang ditarik paksa itu.

"Seila kamu mau ngajak aku kemana sih?" Tanya briant kesal karena tak ada jawaban darinya. Dan..pilihan terakhir adalah pasrah semaunya saja.

Namun briant kini tengah kebingungan. Karena meraka berada disuatu tempat yang entah ada dimana. Ini seperti... hutan?

Ayolah siapa saja tolong beri tau dia. Kalau dia gak lagi dibawa oleh genderuwo yang wajahnya mirip seila ,kan?

"Seila mending kita balik" pinta briant sambil celungak celinguk. "Udah tenang aja" ucap seila dengan entengnya. Tak peduli jika orang yang disampingnya ini akan mengompol dalam celana sekalipun karena takut, yang entah takut karena apa.

Terbiasa dengan suasana kota mungkin, dan membuatnya gelisah jika tengah berada ditengah hutan dengan seorang gadis kecil.

Ditambah dengan redupnya cahaya karena matahari sukar tuk menembus rimbunnya pepohonan disana. Suara dedaunan kerung turut menemani langkah mereka.

"Sampai" seru seila riang. Briant hanya diam. Tak ada yang spesial dengan tempat itu. Disana hanya ada pohon, pohon dan...pohon.

"Ayo naik!" Ajak seila kemudian. Sambil menaiki sebuah tangga yang bersandar pada sebuah pohon. Dimana tangga itu akan berakhir disebuah rumah pohon.

Apa boleh buat briant pun membuntutinya dari belakang. Akhirnya mereka sampai di puncak.

Seila sudah duduk dipinggiran. Kakinya bebas terayun ayun menerpa hembusan angin. Briant duduk disampingnya mengikuti arah pandangannya.

Inilah yang ingin ditunjukan oleh seila. "Wow... keren" kagumnya.

"Aku betah disini. Mungkin umtuk melepas rinduku kepada kakek. Karena dia yang membuatkan rumah pohon ini untukku. Kakek yang tenang ya disana." Seila hampir menitikkan air matanya.

Briant hanya menatapnya sendu. "Aku juga kangen sama bunda" lirih briant kemudian. Seila menoleh, ia siap mendengar keluh kesahnya.

Briant menceritakan semuanya saat saat bundanya tersenyum tuk terakhir kalinya.

"Hei, kau menangis?" Pergok seila. " aku benci hujan kenapa dia ambil bunda dariku!" Teriak briant terdengar kecewa dan frustasi.

Kini seila mengerti kenapa ia membenci hujan. "Nangis aja. Aku gak bakal ngelarang kamu atau ngejek kamu." Imbuh seila.

Seila tampak menatap keatas langit. "Tapi bagiku hujan itu anugrah tuhan. Aku tau sebagian orang akan membencinya karena telah menyusahkan."

"Tapi tanpa hujan bumi akan merindukannya. Mungkin takkan ada mahkluk yang bertahan tanpanya. Para petani juga akan kehilangan pekerjaannya."

"Lihat saja saat kemarau yiba mereka tampak kesusahan tapi saat hujan tiba mereka dengan riang menyambutnya. Kemarau satu tahun lunas dengan hujan satu hari"

Briant hanya menjadi pendengar yang baik saat itu. Entah kenapa hatinya sejuk saat mendengar suaranya yang begitu menenangkan.

"Tapi..." seila menggantung kalimatnya. " aku benci jika hujan membawa taman temannya karena terlalu lelah menahan bebannya ditambah dengan angkasa yang selalu menjatuhkannya. Aku benci petir yang dibawa oleh hujan. Aku benci angin yang membuatku kedinginan dan ketakutan karena mereka mulai  menghancurkan segalanya." Lanjutnya.

Briant masih diam. "Tapi katanya pelangi selalu datang habis badai kan?" Bals briant kemudian. "Iya aku tau" seila menghela nafasnya.

"Itulah alasannya aku butuh pelindung untuk menghadapi badai besar itu. Alu butuh seseorang. Aku tak bisa menembusnya seorang diri." Lanjutnya.

" Kalo gitu kita sama sama lawan rasa takut kita." Briant bersemangat. Seila tersenyum.

Mereka bercanda ria diatas rumah pohon itu bersama. Hingga akhirnya... angin berubah ,tak lagi menyejukkan. Hawanya semakin dingin langit sudah tak secerah air laut lagi. Warnanya kelabu tanda sebentar lagi hujan turun.

Jdeerrr

Refleks seila menghambur kearah briant. Ia memeluknya erat menyalurkan seberapa takutnya ia ketika mendengar jeritan angkasa yang mengamuk.

Briant diam membiarkan tubuhnya diremas olehnya. Entah kenapa juga ia rela untuk menjadikan dirinya sendiri sebagai pelindungnya.

"Takut..."lirihnya. " sei mending kita pulang yuk!" Usul briant dan langsung diangguki oleh seila.

Mereka segera menuruni tangga. Anfin berhembus kencang membuat seila kewalahan dengan rambutnya yang terus berterbangan menghalangi wajahnya.

Alhasil kakinya kehilangan keseimbangannya dan jatuh mencium tanah. Briant panik ia masih berada di atas. Bodoh. Seharusnya ia dulu yang turun agar bisa menangkapnya. Tapi jika dieinya turun terlebih dahulu. Mungkin seila akan ketakutan karena merasa tak ada yang menjaganya.

Damn dua duanya berdampak buruk. Lagi pula yang sudah terjadi tidak bisa di tarik ulang.yang terpenting ia harus segera menolongnya.

Disana seila masih merengek kesakitan. Briant bergegas menghampiri. "Sei kaki kamu luka" panik briant. Segera ia memunggungi seila agar gadis itu mau naik ke atas punggungnya.

"Ayo naik!" Suruh briant. Seila pun menurut lagi pula kakinya begitu sakit dan perih karena mengeluarkan cairan kental berwarna merah.

Beruntung briant ingat jalan. Briant terus berjalan dibawah awan yang sudah menggelap. Akhirnya mereka sampai di ujung perempatan antara rumah pohon tadi dengan rumah seila.

2 menit kemudian dinding tembok bercat pink abu mulai terlihat. Rintik hujan juga mulai turun sebagai awal dari badai. Kilatan kilatan petir juga kian jelas menggelegar.

Riska yang memang sedang khawatir menunggu kepulangannya pun segera meraih seila. Tepat saat itu hujan menderas langit pun tampak begitu sendu dan sedih.

Riska segera membawa mereka masuk. Seila masih meringis karena lututnya yang berdarah. Riska segera mengambil kotak obat. Segera ia keluarkan obat merah dan kasa.

Setelah selesai riska membuatkan coklat panas untuk mereka berdua. Sambil menyesap coklat panasnya mereka menatap ke arah luar jendela.

Jelas langit tengah mengamuk. Mengeluarkan semua bebannya. "Hujan bawa temen temen jahatnya" gumam seila.

Setelah itu ia mengajak briant ke kamarnya yang lebih hangat disana mereka saling bermain bercanda tertawa lepas dan bercerita bahyak hal.

Pukul 5 sore. Akhirnya badai berlalu sebagai imbalannya lembayung senja yang masih kentara awan mendung aisa badai. Namun tetap nikmat dipandang.

Briantpun pamit setelah menunggu pak dudi menjemputnya. Sehera ia menaiki mobilnya.

Disana ia membuka kepalan tangannya. Terlihat sebuah jepit rambut berwarna biru. "Maaf..aku simpan ya . Nanti aku balikin" batinnya.

Ia dapatkan jepit rambut itu ketika ia menggendong seila. Benda itu jatuh dan segera ia pungut tanpa sepengetahuan darinya.

Ia akan memyimpannya karena ia tahu tak lama lagi mereka akan berpisah. Mengingat kontrak kerja ayahnya yang ia dengar tanpa sengaja.

"Masih ada satu semester lagi untuk bersama" lirihnya sambil menggenggam kuat kuat benda itu seolah tak mau kehilangan.















Ia tau nggantung ya .
Besok besok lagi ya.
Tenang perjalanan masih jauh.
Bye sapai jumpa besok.
Sitisofiah~













































See u😘😉

payung teduhWhere stories live. Discover now