Terbesit secuil kabar dari lelaki itu. Rasanya hati seila mencelos sakit. Dia benar benar berniat sekali untuk pergi. Tanpa kabar dan jejak ia pergi begitu saja bak ditelan ikan paus.
Dia pindah sekolah, pindah rumah dan bahkan pindah negara. "Kenapa kamu pergi?" Desis nya pelan sambil memandangi gelang pemberiannya.
"Adas aku masih pengen main sama kamu. Kenapa malah ninggalin aku?" Keluhnya.
Sudah berbulan bulan berlalu, bahkan tahun. Namun Seila tak kunjung bisa melupakannya. Kini ia sudah naik ke kelas 6.
"Bu, kapan ayah pulang?" Tanya seila sambil menelungkupkan wajahnya diatas meja makan.
Riska tersenyum. Rambutnya ia belai halus. "Sabar ya? Ayah kan lagi kerja biar kamu bisa sekolah yang lebih layak, ya?"
Memang nasib yang serba pas pas-an, membuat mereka tercekik. Mereka harus berjuang demi menyambung hidup.
Beda sekali dengan mereka yang terlahir dari sendok emas, bermandikan harta, bersayap uang.
Ceuk urang sunda mah, bro dijuru bro di panto ngalayah ditengah imah.
Namun itu tak menyurutkan bagi seila untuk belajar.
Tak apa ayahnya seorang perantau. Bekerja sebagai OB disebuah kantor besar. Tak apa ibunya seorang pedagang.
Tapi kelak ia akan menjadi orang besar. Terkenal karena prestasinya yang luar biasa. Itulah janjinya, janji seorang seila.
____________________________________
Masa smp berlalu begitu saja. Gadis itu tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik dan imut. Tambahkan senyuman di wajahnya, mungkin seketika gunung berhenti tuk meletus karena kagum kepadanya.
Namun sayang, senyumnya jarang terbit. Selalu saja awan kelabu menutupinya. Entah kemana sang mentari pagi yang selalu memberikan kehangatan itu pergi.
Ia lebih sering menyendiri. Mengerjakan semua soal dengan kilat lalu pergi sekencang kuda. Lulus pun tak sadar.
Mungkin ia sudah lupa bagaimana caranya tersenyum, dan tertawa tanpa beban. Hidupnya terlalu monoton. Jangan jangan ekspresinya sudah keram dan membeku.
____________________________________
"Sayang, udah siap belum?" Teriak riska dari luar. "Belum bu" sahut seila.
Kini takdir tengah merencanakan sesuatu. Meskipun mereka orang kecil bukan berarti akan terus kecil kan?
Berkat sebuah kejujuran. Sebuah tawaran yang menggiurkan datang tanpa diundang. Ayahnya, diki, tak sengaja mendengar atasannya yang merupakan koruptor dan hendak mengambil alih pangkat sang pemilik kantor.
Keberaniannya untuk berkata jujur membawanya pada era yang lebih terang. Diki dipercayakan untuk mengurus jabatan sebagai sekertaris pusat. Yang artinya bekerja di ibukota.
Mungkin inilah awalnya.
Seila juga sudah mendaftar disalah satu SMA di ibukota. Sekolah elit yang tentu saja sangat di idam idamkan olehnya.
Sekali lagi seila mengecek tasnya. "Oh, hampir aja" gumamnya teringat akan sesuatu.
Sebelum membuka laci, seila sempat menghela nafasnya perlahan. Seolah mengumpulkan keberaniannya.
Tangan kanannya kini sudah meraih sebuah tali hitam dengan bandul 2 merpati yang tengah terbang beriringan.
"Hai apa kabar, adas. Sekarang aku juga akan pergi, adas. Jika kau memang mencari ku.... pakailah hati. Jika memang kau mencintaiku kita pasti berjumpa. Adas, aku merindukan mu" monolognya, lalu mengecupnya sekilas.
Bergegas ia keluar dari kamarnya. "Ayo cepetan masukin ke bagasi! Kita harus sampai sebelum malam tiba!" Suruh ibunya bergegas. Seila menurut dan tidak comel.
Setelah dirasa semuanya selesai mereka pun berangkat. Seila tak henti hentinya menengok kearah luar jendela. Tatapan nya sendu karena meninggalkan kota sejuta kenangan itu.
Riska tersenyum kecil kala melihat anaknya yang begitu murung. Ia tak pernah melihatnya bahagia. Saat hujan tiba pun ia hanya duduk memeluk dirinya sendiri di bawah rintik hujan. Tak ada lagi tarian tawa lepas untuk menyambutnya.
"Gak ada yang ketinggalan kan?" Tanya riska sembari membelai surai rambutnya yang halus dan hitam.
Seila menggeleng namun tidak dengan hatinya. "Ada, adas." Batinnya tak mampu terucap. Tertahan di kalbu.
Rindangnya pepohonan Menghiasi trotoar. Taman kecil juga ikut serta bertengger di tengah jalan sebagai pembatas jalan. Matahari juga semakin lelah. Jelas terlihat dari langit yang mulai meredup.
Tembok putih besar mulai terlihat. Kini dihadapan mereka ada sebuah gerbang besi yang menjulang. Kedatangan mereka juga disambut hangat.
Apakah ini mimpi?
Apakah dunia barbie dan para putri kerajaan benar benar ada?
Ah kalau sudah begini, seila jadi teringat tentang kisah sofia the first. Dimana dalam semalam ia menjadi seorang putri. Yang tadinya hanya penjual roti tiba tiba menjadi seorang putri karena ibunya yang menikah dengan sang raja.
Lupakan dunia dongeng karena nyatanya ini realita.
Seila tersentak kala kedua belah bahunya disentuh. "Selamat datang, sayang" sambut kedua orangtuanya lembut.
Refleks seila memeluk kedua orangtuanya haru. "Seila sayang ibu sama ayah" lirihnya. "Apapun untuk anak kesayangan ayah" balas diki.
"Ayo kita masuk!" Ajak riska. Mereka pun masuk kedalam rumah baru mereka.
____________________________________
Setelah puas berkeliling seila langsung merebahkan tubuhnya diatas kasur king size, yang tentu sangat empuk daripada kasur lamanya.
Kamar yang mungkin mimpinya kini nyata dihadapan. Dengan tembok bercatkan biru muda dan tosca, persis seperti yang dibayangkan olehnya sewaktu kecil.
Angin kencang masuk menerobos membuat tirai melambai lambai. Seila bangkit. Bukan untuk menutupnya, seila malah melebarkan jendela membuat angin bebas masuk kekamarnya.
Malam ini langit tampak lebih bercahaya. Ia keluarkan gelang miliknya. "Adas, kamu kemana?" Lirihnya.
"Baik baik ya! Meskipun lo jauh tak tau dimana keberadaannya!" Lagi.
Tak punya kontak, alamat dan secuil apapun kabarnya, sedikitpun tidak. Apa yang harus dilakukan olehnya sekarang.
Perlahan kilatan biru tetang mulai tampak diujung cakrawala. Samar samar gemuruhnya mulai terdengar. Angin berhembus semakin kencang.
Baju yang kini ia kenakan pun tak mampu melindunginya dari tusukan angin yang dingin.
Kini tangisnya pun mulai pecah. Angkasa menangis malam ini. Seakan tau suasana hati seila yang tengah tak menentu.
"Adas, angkasa aja tau aku lagi sedih. Tapi temennya jahat! Gak ada yang bela-in aku, adas! Gak ada yang meluk aku buat halangin angin. Gak ada yang cegah air hujan sentuh aku. Gak ada pelukan yang nenangin aku dari pecutan angkasa. Gak ada yang nguatin aku, adas!" Lirihnya terus mengeratkan pelukannya pada dirinya sendiri.
Pilu rasanya. Air matanya pun lolos meluncur kabur dari telaga beningnya. "Adas, aku rindu...."
"Kamu kemana?"
Badai datang malam itu. Pepohonan juga dibuat terombang ambing dibuatnya. Sama seperti perasaannya yang terus merasa kecewa terhadap kepergiannya.
Jika benar adas diciptakan untuk menemaninya. Kenapa ia harus hilang tanpa jejak dan meninggalkan sebuah kenangan dan perasaan itu dulu?
Kalau memang numpang lewat kenapa ia harus berbalik sebelum ia pergi dan mengucapkan harapan akan bertemu kembali?
Lewat lewat aja gak usah ninggalin jejak.
Btw kayaknya habis ini aku bakalan hiatus dulu. Soalnya aku mau berangkat ke pondok pesantren al huda turalak. Yang pastinya gak bakalan bawa alat elektronik sama sekali. Jadi see you....
YOU ARE READING
payung teduh
Teen FictionSebuah kisah seorang gadis yang menemukan pelindung sejatinya.namun sebelum itu ia harus berjuang untuk mencarinya.perpisahan perpisahan pahit harus iaterjang.badai penderitaan terus menghantamnya.hingga akhirnya ia merasakan jatuh bangun dan arti d...