A. Kirana Djati.
"Ki, gue sama mas Bram mau lanjut ke rumah sakit buat USG ke dokter Dita. Lo ikutan gue atau mau duluan pulang? Atau mau lanjut bareng Dimas?"
"Kalian duluan aja, aku mau pulang tapi sendiri ya! Kalian jangan aneh-aneh pokoknya! Dimas balik ke kantornya aja kali, kan emang dia kesini juga dalam rangka kerja."
Tuh kan. Selalu ada udang dibalik batu! Aku tahu tatapan Lara yang sedang memoles bedaknya memberi kedipan dengan salah satu matanya, gesture bahunya yang menyenggol bahuku, menyiratkan agar aku segera mengeksekusi kesempatan ini.
Kami berdua sedang merapikan diri di toilet sementara kedua laki-laki diluar sana memaksa untuk membayar lunch bill kami.
Badan Lara berbalik menatapku. Kedua tangannya yang bebas memegang bahuku untuk meyakinkan.
"Kira sayang, masalah lo sama Rendi itu udah lamaaa banget. Dan memang sudah seharusnya lo berdamai dengan pikiran lo. Gue yakin lo gak akan bisa lupain, gue aja masih inget sampe sekarang. Tapi beneran deh, Ki. Lo harus coba kali ini. Gue juga mau lihat sahabat gue nikah, bahagia!"
Kata Lara kesempatan jangan pernah disia-siakan. Mungkin ini kesempatan bagiku untuk maju dari masa lalu kelam. Aku akan menanggapinya lebih santai kalau yang dihadapanku bukan Dimas. Aku bisa berusaha membuka hati pelan-pelan.
Tapi kali ini berbeda. Status kami terakhir adalah Dimas mengajakku menikah. Dan artinya dia sudah maju empat langkah lebih cepat dibanding laki-laki kencan butaku sebelumnya. Aku belum yakin. Gak boleh buru-buru. Karena sekali aku memberi jalan, itu artinya aku bisa aja dibawa langsung ke KUA sama Dimas.
Kami berpamitan satu sama lain di depan restoran ini.
"Dim, mas Bram udah cerita belum? Setelah ini kita mau kontrol kandungan. Gue tinggal ya.. kalian berdua gapapa?""Oke gapapa kok. Biar gue yang antar Kirana pulang."
"Eh .. eh .. Gak perlu, bapak lanjutin aja rencana bapak. Saya cuma mau ke mushola bentar, abis itu pulang. Mas Bram hati-hati ya bawa bumil. Bandel ni sepagian udah keliling mall dia."
"Ah lo Ki masih kaku aja panggil Dimas bapak. Kita kan udah temenan ini. Ya gak Dim? Gue nitip doi ya!"
Aku tersenyum menahan malu sambil memandang punggung Lara dan mas Bram yang lama-lama menghilang.
"Oke ayo ke mushola! Dan satu lagi aku mau kasih tahu ke kamu Na, nganter kamu pulang juga termasuk rencanaku hari ini."
Aku masih diam mencerna kalimat Dimas barusan. 'Na? Stands for Kirana?'
Lamunanku buyar saat dia berbalik dari langkahnya dan berkata "Ayo."
Sambil berjalan beriringan ke arah mushola, cukup memberi waktu kami untuk mengobrol.
"Kamu gak belanja?" tanyanya ketika tidak melihatku membawa paperbag.
"Belanja kok, ini lipstik kecil langsung saya masukin ke tas." jawabku sambil menunjukkan sling bag yang aku bawa.
"Na, mulai sekarang kita udah temenan kan? Pasienmu ini udah sembuh lho, bu dokter. Aku juga belum resmi jadi bos kamu.
Oke..! Aku ga akan minta kamu lupain permintaanku waktu di rumah sakit karena aku memang serius sama kata-kataku, tapi untuk sekarang jangan terlalu dipikirkan. Gimana?"Aku mengangguk.
"Jadi? Bisa gak jangan panggil aku bapak lagi? Panggil Dimas aja. Atau siapa aja yang penting gak terlalu formal."
"Gak bisa. Udah kebiasaan dan gak sopan juga kan. Bapak sepantaran sama mas Bram kan?"
"Iya. Kalo gitu panggil mas Dimas aja, kayak kamu manggil mas Bram. Bisa?"
Masih sambil berjalan, aku menggeleng kemudian mengangguk ragu "Gak janji."
"Owh iya, traktiran tadi gak gratis lho, kamu harus bayar imbalannya." Kata Dimas tersenyum licik sambil berbalik menghadapku setelah memencet tombol lift karena mushola ada di lantai LG.
"Hah?! tau gitu saya bayar sendiri. Saya aja ikhlas kok bantu pak Dimas pas kecelakaan padahal kami belum tahu siapa bapak."
"Ikhlas kok diomongin sih? Itu namanya tangan kiri liat dong yang dikerjakan tangan kanan?"
"Yahh.. Maksud sayaa.. Ini buat contoh aja. Tadi kan bapak yang nawarin buat bayar bill-nya, berarti bapak udah ikhlas."
Dimas tersenyum. "Gak kok, aku cuma mau minta waktu kamu dikiit aja sebelum pulang, mungkin lima belas menit, bantu aku cari kado buat mama. Bisa?"
"Owhhhhh.. Oke."
-----
Dimas Airlangga.
Aku menunggu Kirana di luar mushola sambil memasang tag heuer connected ku ke lengan kiri dan memakai sepatu pantofel hitamku. Tak begitu lama, dia muncul dengan wajah segarnya dan make up yang minimalis.
Dia menghampiriku dan kami melanjutkan rencana kami.
"Udah ada ide belum mau dibeliin apa?" tanyaku. Sebenar-benarnya, aku sangat bingung akan memberikan mama kado macam apa. Karena rasanya apapun yang aku berikan, mama tidak pernah pilih-pilih. Semua mama suka. Jadilah aku meminta ide Kirana 'calon mantunya.' Haha 'sorry, berharap boleh ya? Doain amin sekalian.'
"Terserah bapak mau kasih apa? Tas, jilbab, baju, sepatu, jam tangan, perhiasan atau makanan juga bisa."
"Oke perhiasan aja. Cincin?" Aku menaikkan alisku.
"Nooo, menurut saya kalo buat mama bapak mending a necklace or a bracelet deh. They're sweeter than a ring."
"Kamu juga lebih suka dikasih kalung atau gelang daripada cincin?"
Kirana terkejut dengan mata terbuka sempurna dan kedua alis mengerut ke atas. Beberapa detik mematung lalu terbahak selepas-lepasnya hingga sudut matanya mengeluarkan air mata."Kenapa? Aku salah ngomong?"
"Maaf maaf, bapak kelewat lucu.. Selalu serandom dan sespontan ini ya seorang bapak Dimas Airlangga kalau ngomong?
Dah yuk. Saya bantu pilihin."Aku mengacak sebentar rambutnya dengan tangan kananku karena dia masih saja menahan tawa. Sikapnya membuatku gemas. Aku memang sengaja mmemancignya dengan kalimat tadi, tapi dia sama sekali tidak terpengaruh dan malah menganggapnya lucu. Gapapa, setidaknya sekarang sikapnya tidak sedingin sebelum-sebelumnya.
"Tunggu di lobi ya biar aku ambil mobil dulu. Kejauhan parkir soalnya."
Aku akhirnya membelikan mama kalung cantik pilihan Kirana. A silver necklace with diamond branch pendant yang sangat manis.
'Sorry broo, kali ini gak bisa ngasih bocoran harganya berapa. Takut dibilang takabur.'
-----
A. Kirana Djati.
Aku berdiri di sudut kiri depan kaca otomatis lobi mall menunggu mobil Dimas datang. Tiba-tiba tangan kiriku dicekal oleh lengan kokoh seseorang. Aku menoleh dan mendapati orang yang tak disangka-sangka akan hadir lagi di depan mataku.
"Mas Rendi? Kok mas Rendi disini? LEPASIN!"
"Aku minta maaf, Ki? Maafin aku ya?"
Rendi melepaskan pegangan tanganku setelah aku sedikit memberontak. Dia membiarkan aku yang lari masuk ke dalam taksi setelah menurunkan penumpang sebelumnya.
Dan menghilang dari hadapannya.
---
Rendi ini siapa ya? 🤔
Jangan lupa like dan komennya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kamu Yang Minta (Completed Dreame)
ChickLit#1 in fiksiumum (May 11, 2020) #1 in romance (May 22, 2020) #1 in chicklit (May 1, 2020) #1 in ceo (May 1, 2020) #1 in romantic (June 9, 2020) #1 in doctor (June 13, 2020) #1 in metropop (July 11,2020) #1 in menikah (July 20, 2020) #1 in generalfict...