Chapter One

274K 9.7K 464
                                    

Mantan calon
: Ki, besok bisa gak kita ketemuan lagi? Apa salah aku sampe kamu cuekin kayak gini?

Lagi-lagi whatsapp untuk kesekian kalinya, dari mantan calon meramaikan handphoneku. Memang sejak beberapa hari lalu, aku mulai menjauh dari teman blind date yang dirancang salah satu sahabatku. Sikap posesif dan keramahannya yang lebih bisa dikatakan genit, membuatku eneg sendiri di pertemuan pertama kami.

Aku memasukkan lagi handphone ke dalam kantong baju scrub jagaku yang berwarna pink muda ini. Tiba-tiba, kurasakan angin malam bertiup ketika sebuah pintu otomatis terbuka, pintu keramat bagi kami, Instalasi Gawat Darurat, jam sebelas malam, dingin, tak hanya membuat dingin udara ruangan yang kami huni, tapi membuat penasaran dalam hati kami 'Pasien apa lagi ini?'

Kami, disaat orang-orang mulai terlelap dalam mimpi, merapatkan selimut dan memeluk gulingnya, mata dan otak kami dituntut untuk tetap bekerja, terbuka dan waspada. Karena kami tidak akan tahu pasien seperti apa saja yang akan datang.

Seperti malam ini, di bed satu ada pasien dengan teriakannya karena sakit perut tak tertahankan sudah tiga hari. Di bed dua dan tiga masih ada pasien demam yang menunggu hasil laboratorium darah.

Dan yang baru saja membuat aku harus menahan nafas dan saling pandang dengan mba Lusi dan mas Anton, perawat-perawat jaga malam ini adalah datang seorang laki-laki, mungkin seusia tiga puluhan tahun, dengan kerah kaosnya yang berdarah-darah, celana jeans kaki kanan yang sudah mulai koyak, kotor bercampur pasir dan terlihat luka di kakinya..

Kami sebagai dokter dan tenaga medis lainnya, dalam lima detik pertama, sudah harus bisa menilai keadaan umum pasien saat datang.

"Pasien KLL dok, tabrakan motor dan mobil, orang ini pakai motor, benturan di dada dan tulang tungkai bawah kanan closed fracture udah di immobilisasi. GCS EVM 325, sesak, pergerakan dinding nafas kanan terlambat. Tensi 100/70, nadi cepat 120x/menit dan nafas pendek cepat 28x/menit." Sahut perawat ambulans pada kami yang memberi informasi sambil mendorong brankar pasien.

'Voilaaaaaaaa.....mimpi apa aku semalem, kok pasienku ga ada yang santai kayak biasanya.'

"Namanya siapa mas? Ada temen atau sodara yg nganterin?"

Tanyaku pada perawat tadi, yang bersama-sama kami bertiga sudah menyelipkan kedua tangan kami di bawah tubuh pasien, bersiap memindahkannya dari brankar ke tempat tidur di IGD.

"One! two! three! Angkat!!"

Aku memberi aba-aba untuk serentak mengangkat pasien tersebut.

"Gak ada dokter, dompet pun dia gak bawa, kosongan ini orang, polisi lagi urus TKP dan otw kesini."

"Mas.. Mas..."
Aku menepuk-nepuk bahunya, dia membuka mata lalu menutup lagi. Mba Lusi segera menggunting kaos dan celana pasien agar memudahkan kami memeriksa.

"Sebelah mana yang sakit? Namanya siapa?" Dia hanya mengerang dan meletakkan tangan di dadanya. Aku memeriksa pupil matanya dan melakukan pemeriksaan fisik dengan stetoskop andalanku.

"Oksigen 4 lpm, infus RL loading 400 cc dulu, pasang monitor. Abis itu panggil dokter Wijaya, mas! Sama panggil radiologi dan lab. Cek Hb nya!"

Mas Anton memasang selang oksigen, infus, monitor tanda vital dan segera berlalu menelepon dokter Wijaya, dokter anestesi yang kebetulan masih standby di RS.

Tak berselang lama, dia datang, memeriksa sebentar lalu segera melakukan intubasi untuk membebaskan jalan nafasnya.

"Wah kemungkinan hematothoraks ini, neng. Bantu gue intubasi."

Kamu Yang Minta (Completed Dreame)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang