Chapter Four

108K 7.5K 25
                                    

Dimas Airlangga.

Aku tidak tau kenapa aku menjadi sejahat ini kepadanya. Masalah yang beruntun datang di kehidupanku, membuatku tidak bisa berpikir jernih. Mungkin karena Kirana terlalu cantik dan baik. Saat pertama kali dia mengunjungi kamar ini, melihatnya lebih jelas daripada saat aku diperiksa di IGD, rasanya seperti de javu. Wajahnya yang manis, matanya yang jernih dan bulat dengan dandanan yang tidak berlebihan, membuatku mengingat seseorang. Apalagi mama yang beberapa hari ini melebih-lebihkan cerita tentangnya, yang aku tau pasti maksud mama ujung-ujungnya apa.

Dewanti, gadis Bali yang pernah menjadi pacarku selama beberapa bulan saat mengambil S2 Master's in Business Administration di Columbia University beberapa tahun lalu, dia juga cantik, baik dan terlihat lugu, mirip sepertinya. Tapi sialnya, dia hanya main-main dengan uangku. Aku tidak pernah mempermasalahkan sama sekali memberikan apapun yang dia minta, tapi aku mulai tidak terima ternyata si Dewanti Dewanti ini, juga main belakang dengan laki-laki lain.

Dan itu membuatku menilai semua perempuan sama. 'Ada maunya'. Sesimpel itu. Aku memang tipe laki-laki yang tidak pernah resmi pacaran meskipun banyak perempuan mendekatiku. Dengan lifestyle, lingkungan pertemananku, seluk beluk orang tua, harta dan kelebihan paras --mungkin?-- itu sudah cukup untuk membuat banyak perempuan bertekuk lutut. Tapi saat aku mulai mencoba serius menjalani hubungan dengannya, dia tidak ada bedanya dari yang lain.

Dan hari ini, aku sudah dengan kasarnya membuat Kirana menangis. Ada sedikit penyesalan karena sudah keterlaluan saat Kirana menolak imbalan uang yang aku sodorkan. Matanya terlihat berkaca, tangannya mengepal. Tapi ternyata prasangkaku tidak salah. Dia berbalik dan menerima uang itu.

Kirana tetap datang memeriksaku seminggu ini, selama dokter Ardi di Bali. Kalau bukan karena amanah, mungkin dia sudah muak bertemu denganku. Ekspresinya berubah ketus, tidak ada senyum ramah yang pertama kali dia tunjukkan saat visite pertamanya. Benar-benar datar dari wajah maupun nada bicaranya. Nasehat dokternya pun terus diulangi dengan kalimat yang sama, tiap harinya. Tapi kemudian berubah menjadi sopan dan ramah, saat mama menimpalinya.

"Ibu, insyaAllah besok dokter Ardi sudah pulang, jadi besok beliau sudah bisa visite lagi. Mudah-mudahan pak Dimas sudah boleh pulang. Maafin saya lahir batin ya ibu selama ini. Saya ijin dulu."

-----

"Dokter, gimana keadaan Dimas Dok? Kapan dia bisa pulang dan terapi jalan?"

"Keadaan Dimas sudah sangat jauh lebih baik. Hari ini juga saya mulai konsultasikan ke Rehab Medik dan nanti sore sudah bisa pulang." Om Ardi menepuk bahuku. "Kamu harus rajin terapi ya Dim! Setelah itu, bantuin papa kamu ngurus rumah sakit ini. Anka Medika butuh sentuhan inovasi baru anak muda sehebat kamu!"

Om Ardi ini adalah salah satu dokter senior di sini, sudah bekerja sejak rumah sakit ini dirintis. Hampir dua puluh. Sahabat papa. Beliau sangat mengenal baik keluarga kami. Masih setia sejak awal hingga papa pensiun. Dengan baju putih snelli-nya, beliau masih terlihat gagah sama seperti dulu. Sejurus dengan papa yang juga dokter spesialis Orthopedi, meskipun sudah digerus usia, pengetahuan dan wibawanya tidak pernah berkurang.

Berbeda dengan mama yang alumni lulusan public relation, mama terlalu easy going terhadap siapa saja yang ditemuinya. Bahkan yang aku sangat tidak suka, mama terlewat ceplas-ceplos dengan orang baru, apalagi lama. Seperti sekarang ini. Berkali-kali aku mengecewakannya, tapi beliau selalu menunjukkan kasih sayang. Seperti mencarikanku jodoh. 'Damn..gue bener-bener anak durhaka!'

"Dok, kalau dokter Kirana itu anaknya baik ya? Belum punya suami kan? Gimana menurut Dokter, kalau dia jadi mantu saya? Masih available kan ya?"

Kamu Yang Minta (Completed Dreame)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang