BAB 5

825 47 0
                                    

Pertemuanku dengan Nico hari-hari berikutnya semakin intensif, saat pagi hari Nico menemaniku menunggu bus sekolah, saat sore Nico juga terkadang menungguku di bangku taman yang biasa aku gunakan untuk menikmati angin sore. Dengan intensifnya aku bertemu Nico membuatku menjadi menyukainya, terkadang aku menanti-nanti kedatangannya saat pagi dan sore hari. Pernah satu hari kesehatan Nico terganggu, aku sangat kuatir dan bahkan kakiku melangkah menuju rumahnya. Melihatnya terbaring ditempat tidur dengan sangat lemah, air mataku tiba-tiba mengalir.

Sepanjang siang saat Nico tertidur dengan napas nyaris putus-putus, aku menungguinya tanpa peduli Tante Melissa yang pasti marah karena keterlambatanku dari jam yang biasa. Aku merawatnya, memberinya makan dan sesekali menghapus peluhnya. Menemaninya bercerita dan kadang tertawa bersamanya. Ayah dan Ibu Nico juga menjadi mengenalku dan sering ngobrol denganku. Mereka menyambutku dengan sangat baik, terutama Tante Teressa yang sering memintaku menemaninya memasak makan malam. Semakin lama bersama Nico aku semakin belajar untuk menghargai kesehatan yang Tuhan berikan kepadaku.

Sementara hubunganku dengan Alex hanya datar-datar saja meski perhatian yang diberikan Alex sering berlebihan dan semenjak perkelahian Alex yang terakhir, aku semakin merasa jauh darinya. Alex juga masih terus menerus terlibat perkelahian bahkan dengan Dylan teman sekelasku sehingga membuat Jimmy menjauhkanku dari Alex untuk sementara waktu karena takut Dylan mengincarku dengan niat membalas dendam kepada Alex. Terkadang ketika Alex menghubungiku dan mengajakku keluar untuk sekedar jalan-jalan, aku menolaknya karena menemani Nico dirumahnya. Berkali-kali Alex mengintimidasiku karena Alex merasa aku membohonginya.

"Lo enggak lagi bohongkan?" tanya Alex sengit saat esoknya disekolah.

"Kenapa?" aku balik bertanya dengan tajam.

"Gue kasih semua hati gue buat lo sentuh dan lo jaga, Feb. Gue enggak rela jika lo sampai merusak kepercayaan yang sudah gue beri." Alex menatap aku tajam.

"Kalau begitu kita sebaiknya pisah." Aku membalas tatapan Alex tak kalah tajamnya.

Alex terkaget, dan kemudian sifatnya melunak "Maafin gue, Feb. Gue yang salah." Begitulah seterusnya ketika aku mengajukan kata 'pisah', Alex dengan kooperatif akan memohon maaf untuk meredakan suasana yang panas meski sebenarnya aku juga sudah sedikit lelah berjalan bersama Alex. Ditambah Jessica yang sering ribut dirumah karena menyukai Alex tapi tidak mendapatkan balasan yang sama.

"Feb..lo enggak apa-apa kayak gini?" Rena bertanya padaku saat pagi setelah aku menaiki bus sekolah dan duduk disampingnya. Aku melambai kepada Nico yang menemaniku menunggu dengan payung putih ditangannya.

"Apanya?" aku memperbaiki dudukku.

"Nico dan Alex. Lo jangan coba-coba main api ya kalau enggak mau kena luka bakar. Gue harus memperingatkan lo sekarang ."

"Maksud lo?" aku memandang Rena bingung.

"Lo pacar Alex tapi lebih care ke Nico."

"Alex maksa gue untuk jadi pacar dia, sementara dengan Nico gue jauh lebih nyaman."

"Kalau gitu lo minta putus dari Alex."

"Sudah berulang kali tapi Alex enggak mau. Gue harus ngapain?"

"Gue suruh lo jauhin Nico juga enggak maukan?" Rena balik bertanya. Aku mengangguk. "Feb, lo tahukan sangarnya Alex, Dylan aja bonyok gitu sampai harus diopname 4 hari dirumah sakit. Apalagi kalau dia tahu lo selingkuh.. Ya Tuhan.. gue masih mau lihat lo hidup." Rena meremas tanganku gemas. "Lupain dan jauhi Nico ya." Aku terdiam mendengar permintaan Rena. Benar juga apa yang dikatakan, bermain-main dengan Alex seperti mempertaruhkan hidup. Tapi menjauhi Nico rasanya seperti ada lubang yang tercipta didalam hatiku. Semakin mengingatnya, semakin membuatku merasa sesak. Apa yang harus aku lakukan?

FENNEL (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang