BAB 10

699 53 3
                                    

Enjoy!

Siap-siap sedia tisu di bab-bab ini :)


Malam harinya aku melangkahkan kaki menuju rumah Nico, beberapa hari ini kesehatan Nico semakin membaik dan Nico bangun dari komanya. Namun justru yang ada dalam pikiranku adalah Alex. Kemana Alex beberapa hari ini? Aku melihat kembali kelayar handphone milikku berharap nama Alex tercetak disana. Lama aku terdiam, aku menyadari aku sangat merindukannya. Wajah Nico terlihat jauh lebih segar dari hari kemarin, aku menghampirinya yang sedang memutar-mutar lensa kameranya. "Gimana keadaan lo?"

Nico terkejut akan suaraku tapi kemudian Nico tersenyum senang, "Baik. Berkat kamu." Aku ikut tersenyum melihatnya baik-baik seperti ini. Aku memilih duduk di bangku dekat jendela kamar dan beberapa kali melihat dengan cemas layar handphoneku, sejujurnya kabar dari Alex yang aku butuhkan sekarang. Nico melihatku dengan bingung. "Menunggu kabar seseorang?" tanya Nico dan menghampiriku. Aku menggeleng membuat Nico lebih penasaran. "Alex?" Mendengar nama itu aku menunduk sedih, Nico menarik napas panjang. "Alex bukan anak kecil lagi, dia bakal baik-baik aja."

"Baik-baik aja? Apa maknanya 'baik-baik aja'?" aku bertanya sambil terus menatap lurus keluar jendela. "Jika secara fisik Alex selalu terlihat baik-baik aja tapi bagaimana dengan hatinya?" aku memandang dengan sedih kearah Nico yang kini disampingku.

Nico berlutut dihadapanku dan menggenggam tanganku, "Aku butuh kamu melebihi Alex." Aku menarik napas panjang, memilih melihat kearah luar kembali dan melepaskan tanganku dari genggaman Nico. "Jika aku sembuh, aku bakal bisa lebih membuat kamu bahagia. Tetaplah disisiku sampai nanti, Febby." Nico kembali menggenggam tanganku. "Well.. aku ada kabar baik." Nico tersenyum.

Aku memandangnya dengan pandangan bingung, "Apa?"

"Aku memperoleh donor jantung." Nico mengatakannya pelan tapi terasa terdengar nyaring ditelingaku.

"Donor jantung?" aku menatap Nico tak percaya. "Syukurlah." Aku ikut tersenyum bersamanya.

"Operasinya Kamis jam 1 siang. Aku akan sembuh dan kita bisa seperti pasangan normal lainnya." Nico memelukku erat. "Jangan tinggalkan aku sendirian lagi."Aku hanya berdiri kaku dalam pelukan Nico. Dan aku merindukan Alex disaat yang sama.

Rabu pagi yang dingin. Aku menunggu bus sekolah seperti biasa, aku menyusuri jalan raya yang terasa lembab karena embun pagi. Langit masih gelap dan jalan raya masih sepi seperti biasanya. Aku meringkuk dalam jaket tipis yang aku kenakan. Sekitar 5 menit bus sekolah masih juga belum terlihat. Tiba-tiba sebuah jaket tebal menyelimutiku dari belakang, aku menoleh dan Alex dengan senyum tipis menatapku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali, aku takut itu hanya halusinasi.

"Memakai jaket tipis gitu mana bisa hangat." Katanya.

Aku mengenal suara berat itu, suara yang pemiliknya beberapa hari ini juga memenuhi kepalaku. Aku berdiri tegak dan memeluk Alex erat. Alex terkejut tetapi kemudian balas memelukku erat. Aku menangis.

"Lo nangis?" Alex melepas pelukannya dan mengangkat wajahku. "Gue nyakitin lo ya? Yang mana yang sakit?" tanya Alex cemas.

Aku tersenyum pelan dan tangisanku, "Bodoh. Kemana aja lo?" aku memukul lengan Alex.

Alex tersenyum melihatku menunduk sambil menghapus airmataku. "Maaf ya. Lo kangenkan?" tanyanya jahil.

Aku memukul lengan Alex berkali-kali membuat sang pemiliki lengan mengadu kesakitan, "Iya. Kenapa lo bikin gue sakit gara-gara enggak lihat wajah lo walaupun cuma sehari?" aku memaki dengan cepat.

Alex tersenyum lembut dan memelukku, "Maafkan Alex bodoh ini karena membuat Febby miliknya menangis. Tapi sekarang gue disini." Aku tersenyum dalam pelukan hangat Alex. "Hari ini gue mau ajakin lo jalan, maukan?" tanya Alex kemudian.

FENNEL (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang