Tidak semua orang di kampus Naya mengenal Dean. Dean hanyalah mahasiswa manajemen kelewat rajin yang hobinya membaca buku. Dean tidak cupu, hanya memang hobinya saja membaca buku. Selain membaca buku, lelaki satu itu juga dikenal mencintai segala sesuatu yang berhubungan dengan musik. Naya pernah dengar, katanya Dean bisa memainkan segala macam alat musik setelah mempelajari selama dua hari saja.
Di kehidupan sosial, Dean termasuk ambivert. Dia terlihat dingin dan cuek saat pertama kali bertemu. Namun jika sudah nyemplung ke circle-nya, jangan heran kalau bisa sering melihat senyum Dean. Julukan si es batu disematkan padanya oleh orang-orang yang memang tidak begitu kenal dengan Dean.
Sikap dingin dan irit omong Dean bertolak belakang dengan wajahnya. Bukannya berwajah resting bitch face, Dean malah memiliki wajah baby face. Pipinya sedikit tembam dengan mata bulat, tapi tetap tampan. Paham, kan?
Jika di kampus Naya tak sengaja berpapasan dengan Dean, dia akan mengangguk sambil tersenyum. Dean pun hanya akan membalas dengan anggukan kecil tanda kesopanan. Lisya pernah menyuruh Naya untuk mengajak Dean ngobrol, sekadar memberi tahu jika dia kagum atas nyanyian dan permainan gitarnya. Tentu saja Naya menolak, meski baby face begitu Naya tetap segan pada Dean.
"Bodoh! Bodoh! Muka lo mau ditaruh dimana sekarang, Nay?!" Naya mengetuk kepalanya sendiri.
Masih terbayang kejadian tadi. Dia tanpa sadar memberi Dean flying kiss yang seharusnya untuk Juna. Duh, menyapa langsung saja dia segan, ini malah memberi flying kiss.
Tadi setelah sadar atas perbuatannya, Naya segera berlari masuk ke kamar. Ia tak peduli lagi pada Dean yang menatapnya penuh tanya. Sampai sekarang, Naya belum keluar dari kamar. Inginnya sih dia keluar besok saja sekalian ke kampus.
Sayangnya tubuh Naya tidak bisa diajak berkompromi. Kulit Naya yang tergolong sensitif mulai gatal karena biang keringat. Kalau tidak segera mandi, dapat dia pastikan kulitnya akan memerah dan gatal parah satu jam ke depan.
Naya bimbang. Dia ingin segera mandi agar badannya tak keburu gatal. Akan tetapi dia takut keluar dan berpapasan dengan Dean. Duh! Pasti wajahnya akan memerah karena malu.
Akhirnya dengan penuh pertimbangan, Naya memutuskan untuk mandi. Dia tidak mungkin tidur dengan tubuh gatal. Baju ganti dan peralatan didekapnya, sementara handuk tersampir di bahu.
Membuka pintu sedikit, Naya memastikan jika tidak ada Dean di luar kamar. Aman, batin Naya. Ia lalu keluar kamar perlahan.
"Eh, anak baru, ya?" Seseorang yang sedang membawa secangkir minuman menyapa Naya. Tebak Naya, sih, dia baru dari dapur.
"Iya, namaku Naya." Naya mengulurkan tangan. Perempuan yang rambutnya digelung itu menerima tangan Naya.
"Sania. Aku anak semester tujuh, kamu semester berapa?"
"Baru semester tiga, Kak."
"Oh, kelihatan, sih." Sania sedikit terkikik.
"Kelihatan apanya, Kak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfly Effect (COMPLETE) ✅
General FictionOpposite Polarity Kelinci dan Penguin. Kalau Dean itu es batu, berarti Naya es doger. Sama-sama es, tapi berbeda. Dean adalah es yang keras, dingin, dan hambar. Sementara Naya berwarna-warni dan menyegarkan. Dean yang kalem dan irit bicara. Naya ya...