Naya sedikit malas saat seorang dosen menjelaskan sesuatu di depan. Dosen itu tua, cara bicaranya sangat lambat dan membuat Naya mengantuk. Berada di fakultas kedokteran, rasanya sangat sulit menemukan dosen muda kinyis-kinyis. Maklum, jadi dosen kedokteran waktunya tidak sebentar. Jangankan dosen, menjadi dokter sesungguhnya saja membutuhkan waktu lama.
Coba bayangkan. Saat teman-teman Naya lulus sarjana, mereka bisa langsung bekerja, melamar di perusahaan bermodalkan ijazah. Sementara dia? Setelah sarjana harus menjalani koas yang katanya momok karena berhadapan langsung dengan pasien-pasien. Setelah koas masih ada internship. Belum lagi jika ingin ambil spesialis.
Masuk kedokteran itu tidak semudah yang dibayangkan. Bisa saja ketika teman-teman yang lain telah sukses memiliki jabatan tinggi, mahasiswa kedokteran masih berkutat dengan konsulen yang sering bikin darah tinggi. Kata orang,sih, masuk kedokteran berarti belajar seumur hidup.
Dari awal, Naya sudah tahu konsekuensi memilih jurusan ini. Naya sempat ingin memilih sastra Korea atau psikologi sebelum akhirnya memilih kedokteran. Jurusan kedokteran ini dipilih setelah menggelar diskusi panjang dengan kedua orang tuanya. Kata mereka sayang jika otak cerdas Naya tidak dimanfaatkan dengan baik. Naya memang bukan murid dengan nilai luar biasa di sekolah, namun dia memiliki IQ tinggi yang membuat nilai skolastiknya unggul.
Tapi Naya tidak pernah merasa menyesal atau salah jurusan. Sedari kecil, dokter adalah profesi yang selalu disuarakan Naya jika ada yang menanyakan cita-citanya. Rasanya keren sekali memakai jas putih lalu dipanggil dengan panggilan Dokter Naya. Cita-cita masa kecilnya itulah yang menjadi salah satu alasan dia berhasil dibujuk untuk memilih kedokteran.
Memandang profesor di depan kelas, Naya seperti memikirkan ulang cita-citanya. Perjalanannya masih sangat panjang sepanjang jalan pantura. Semoga saja dia mampu sampai akhir karena orang tuanya mengeluarkan uang tak sedikit demi dia menjadi dokter.
"Nay." Panggilan Lisya membuat Naya menoleh. Naya hanya menaikkan alis. Biar kuberitahu, Naya itu tidak bisa berbisik. Dia merasa berbicara dengan sangat pelan pun, meja di ujung sana pasti bisa mendengarnya.
"Selesai kelas makan soto, ya?"
Kantin untuk makan di kampusnya memang ada banyak. Kantin yang biasa mereka datangi, yang paling dekat dengan kelas mereka tidak menjual soto. Jika ingin membeli soto, artinya mereka harus ke kantin dekat pohon jambu, agak jauh dari fakultas mereka.
Naya mengangguk setuju. Ini memang kelas terakhir hari ini, jadi sepertinya berjalan sedikit lebih jauh untuk makan soto yang menyegarkan tak begitu buruk.
Rasa syukur Naya panjatkan begitu melihat warung soto Mbak Er sepi. Biasanya warung ini ramai. Selain karena soto babatnya yang luar biasa enak, Mbak Er yang masih muda dan cantik membuat mahasiswa senang memenuhi warung sotonya.
"Mbak mau pesan." Naya sedikit meninggikan suaranya karena Mbak Er sedang sibuk bermain ponsel. Wanita muda itu segera menaruh ponsel dan menghampiri mereka, Lisya dan Naya. Farah sendiri telah memiliki agenda bersama Rio.
KAMU SEDANG MEMBACA
Butterfly Effect (COMPLETE) ✅
General FictionOpposite Polarity Kelinci dan Penguin. Kalau Dean itu es batu, berarti Naya es doger. Sama-sama es, tapi berbeda. Dean adalah es yang keras, dingin, dan hambar. Sementara Naya berwarna-warni dan menyegarkan. Dean yang kalem dan irit bicara. Naya ya...