Part 2 - Siapa sangka?

21.1K 2.1K 283
                                    

Dengan ceria gue melangkahkan kaki ke arah kelas sambil membawa bungkusan gorengan.
Sepanjang jalan gue senyum-senyum mulu, mungkin orang yang melihat bakalan ngira kalau gue udah gila karena senyum sendiri.

Tapi sebenarnya  gue senyum karena yakin kalau Yoga akan senang karena gue beliin cemilan, iyalah, siapa yang nggak senang sih kalau di perhatikan?

"Yoga, ini buat elo." Gue meletakan gorengan yang gue beli dari kantin di atas meja Yoga.

Yoga diam sejenak melihat bungkusan di atas mejanya kemudian bertanya, "ini apa?"

"Gorengan. Kan dari tadi elo dikelas mulu, kali aja laper, yaudah gue beliin gorengan," Kata gue sambil senyum, berharap Yoga senang.

"Oh, makasih," Katanya dengan datar.
Tetapi Dia nggak menyentuh gorengan itu sama sekali dan malah main HP.

Gue auto kesel, ini anak beneran batu atau gimana sih? Masa udah gue perhatiin tapi wajahnya nggak ada ekspresi sama sekali?

"Yoga, maaf gue lancang kalau tanya begini. Tapi, urat syaraf di wajah lo nggak mati kan?"
Kenaklau, seumur hidup gue nggak pernah mengira akan mengajukan pertanyaan seperti ini ke seseorang.

Yoga hanya menatap gue tanpa berbicara apapun, mungkin dia merasa pertanyaan gue konyol dan nggak bermutu untuk dijawab.

"Lo diem doang? lagi puasa ya?" Tanya gue ke Yoga sambil menyilangkan kedua tangan.

"Nggak puasa." Jawab Yoga.

"Terus kenapa lo nggak ada ekspresinya sama sekali?!" Kata gue agak kesel sama Yoga.

"Terus gue harus gimana?" Yoga bingung.

"Senyum kek!" Gue tiba-tiba nunjuk Yoga.

Yoga reflek menarik kedua bibirnya, tapi matanya masih datar. Dia nggak bisa senyum.

"Anjir gue suruh senyum dia malah kaya orang nahan boker, hahaha." Gue tertawa lepas karena ekspresi Yoga yang lucu.

Ketika gue tertawa, Yoga masih menahan ekspresi 'senyum' yang mirip orang ngejen tersebut.

Tiba-tiba Zaki datang, dan kaget melihat Yoga.

"Yog?! Kesurupan apa lo woy?!" Zaki kaget.

Ekspresi Yoga seketika kembali datar.

"Kenapa nih? Salah minum obat lo?" Zaki masih bingung kenapa temannya begitu.

"Ki, lo nemu Yoga dimana sih? Orangnya emang gini ya? Masa senyum aja sulit."
Gue masih menahan sisa tawa gue yang tadi.

"Oh itu, gue nemu Yoga ketika mau buang sampah. Dari kejauhan gue lihat ada yang tiduran. Apaan tuh kok mirip monyet? Jadi gue datangin. Pas dekat, gue tanyain, masih hidup lu? Eh ternyata masih hidup, yaudah gue bawa pulang aja buat nakutin kecoa dirumah gue."
Zaki cerita panjang lebar dengan bangga.
Jelas-jelas isinya hoax semua.

"HAHAHAHA." Mendengar cerita halu Zaki gue tertawa ngakak, Zaki ikutan geli.

"Puas?" Tanya Yoga kepada Zaki.

Zaki cuma senyum melihat Yoga, kemudian ia memulai cerita yang sesungguhnya.

"Gue sama Yoga udah temanan dari kecil. Dia udah gue rawat seperti anak kandung sendiri."
Zaki menepuk pundak Yoga, kemudian gue tambah ngakak melihat tingkah Zaki.

"Yoga mirip malika ya, ki?" Gue nangkap jokes yang Zaki sampaikan.

"You got the point." Zaki menjentikan jarinya ke arah gue, kini kami berdua tertawa bersama.

Sementara Yoga hanya diam melihat kami berdua yang begitu bahagia menertawakannya.

***

Beberapa mata kuliah di hari itu akhirnya berlalu dan tiba saatnya pulang.

4 Serangkai ( SUDAH TERBIT )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang