1• Patience

523 55 14
                                    

patience
[ pey-shuh ns ] • noun
slow to speak,
slow to anger
[ proverbs 15:18 ]

🌨🌨🌨

Gadis itu diam termenung. Membiarkan suhu malam yang cukup dingin menusuk kulit putihnya. Pandangannya kosong. Pikirannya berkelana. Hatinya hancur memikirkan bagaimana kelanjutan hubungannya setelah ini.

Dinomorduakan dari orang yang kamu sayang itu memang menyakitkan. Terlebih hal tersebut tak hanya sekali-dua kali terulang.

Gadis dengan rambut tergerai itu menyeka air matanya yang sudah mulai mengering. Menarik napas sedalam mungkin mencoba untuk menenangkan diri. Meski tak ada artinya.

Ia tidak boleh terlihat lemah. Ia harus kuat, harus bisa bersikap biasa saja untuk hal ini. Ia harus sabar. Toh juga ini bukan untuk pertama kali bagi dirinya.

Samuel S : Maaf, Sya kita nggak bisa pergi. Bianca nangis lagi. Aku janji kita pergi besok. Love you, Sayang.

Read

Kesya Avani, gadis dengan hati yang terbuat dari besi itu tersenyum kecut menatap ke arah benda pipih yang digenggamnya. Senyuman itu terlihat begitu menyakitkan, menyembunyikan luka yang terpampang jelas.

"Kenapa harus nangis sih, udah biasa juga!" gadis itu menepuk dadanya yang terasa semakin sesak. "Lo nggak boleh nangis, Sya! Lo udah biasa diginiin!" Meski mulut tak sesuai dengan hati, Kesya terus berusaha untuk berhenti menangis.

Ia melihat ke arah sekitar. Taman yang tak jauh dari arah sekolahnya kini sudah sepi. Hanya beberapa Bapak tua saja yang terlihat di sana menata jualannya bersiap untuk pulang ke rumah.

Jam sudah menunjukkan pukul 22.15 WIB. Yang artinya Kesya sudah menunggu Samuel—kekasihnya 3 jam lebih, sejak pukul 19.00 tadi. Tak apa. Kondisi sahabat Samuel mungkin lebih penting darinya. Ia harus berpikir positif. Tidak boleh menjadi gadis yang egois.

Kesya bangkit dari duduknya bersiap untuk pulang, meninggalkan tempat itu dengan hati yang sudah melebur.

Makasih udah buat aku nunggu lagi, Sam. Aku sayang kamu.

🌧🌧🌧

"Jangan pulang dulu, Sam. Gue nggak mau kesepian." Bianca menarik ujung kaos Samuel.

"Bi, ini udah jam setengah sebelas. Gue harus pulang. Udah seharian gue sama lo dan relain waktu gue buat Kesya," Samuel menjambak rambutnya frustasi. Ia sudah lelah seharian menjaga Bianca dikarenakan Mamanya yang belum juga pulang kerja. Inilah rutinitas Samuel semenjak dikabarkannya penyakit yang diidap gadis tersebut.

"Kok lo gitu sih? Jadi lo nggak ikhlas nemenin gue di sini?!" Mata gadis itu terlihat berkaca-kaca.

Sial! Samuel paling tidak bisa melihat Bianca menangis. Itu adalah kelemahannya. "Bukan gitu, Bi. Ini udah malem banget, gue masih harus sekolah besok." Samuel mencoba bersikap lembut ditengah perasaan gundanya.

Jujur saja, hatinya sangat gelisah ketika mengingat bagaimana nasib gadisnya yang sedari tadi sudah menanti kedatangannya. 3 jam! Itu bukan waktu yang singkat untuk sekadar menunggu seseorang. Tapi, di sisi lain ia juga tidak bisa meninggalkan Bianca seorang diri.

"Lagian Tante Diva udah mau deket kok," ujarnya lembut.

"Makanya, lo sih pake acara janji-janjian mulu sama dia! Lo itukan harus masih jagain gue, Sam!" bentak gadis itu menunjukkan ketidaksukaannya.

"Tapi, Bi, gue udah batalin banyak janji buat Kesya. Kasihan dia," Samuel benar-benar dilema.

"Ya udah sih putusin aja. Bilang, kalau lo itu harus masih jagain gue setiap hari."

patienceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang