Lima Puluh Empat

88 14 0
                                    

Pengadilan di Balai Agung segera dimulai. Karin yang tak bisa lagi tidur setelah terbangun dari mimpi, tak bisa menyembunyikan kantung hitam yang menghiasi matanya. Arjuna bertanya ada apa, namun Karin memilih tak menjawabnya. Sisa malam ia habiskan untuk mencoba mengingat setiap detail kenangannya. Semua kenangan itu lambat laun seperti mengalir kembali, ia mulai mengingat semua kejadian yang selama ini ia lupakan.

"Nek Ibu, apakah Nek masih memiliki foto Derta Paman Darmawan?" tanya Karin saat sarapan bersama.

"Ada, mau lihat?" jawab Permaisuri.

"Karin ingin menguji ingatan saja. Karin kehilangan ingatan Karin sejak berusia delapan tahun. Karena itu Karin tak ingat pernah tinggal di Jakarta. Sepertinya ingatan itu mulai kembali," jelas Karin.

Permaisuri segera bangkit mengambil beberapa foto paman Karin.

"Tunggu," kata Karin, "bagaimana jika bersama dengan beberapa foto laki-laki lain, sehingga Karin benar-benar yakin akan ingatan Karin?" lanjutnya mengusulkan.

Putera Baginda berdiri dan mendampingi ibunya. Mereka berdua menghilang di balik pintu.

"Ada apa gerangan, Dohitra?" tanya Baginda Raja.

"Semalam, Karin bermimpi tentang Paman Darmawan, maksud Karin, Derta Paman Darmawan," jawab Karin.

"Mimpi?" tanya Baginda Raja lagi.

"Iya, Baginda. Sudah beberapa hari ini, Karin selalu bermimpi tentang potongan kenangan yang Karin lupakan. Waktu di Korea, Ayah hadir di mimpi Karin. Malam ini, Paman Darmawan yang hadir," sahut Karin.

Baginda Raja menghela napas berat, "kau anak yang terlupakan, tapi kini hadir untuk membantu kami semua, Karin."

Karin menunduk tak berani memandang kakeknya.

Putera Baginda dan Permaisuri kembali ke ruang makan. Permaisuri meletakkan beberapa foto laki-laki dewasa di hadapan Karin. Ada enam foto yang berbeda di sana. Karin langsung mengenali salah satu foto itu, tapi ketika memandang ke foto di sebelahnya, ia ragu.

"Menurut Karin yang ini, Nek. Tapi kok ragu, ya? Mirip dengan yang ini soalnya," kata Karin. Ia menunjuk pada dua foto yang bersebelahan.

Baginda Raja tertawa, "itu fotoku waktu masih muda," katanya.

"Ah, pantas saja, mirip sekali dengan Derta Paman hanya Karin yakin, bukan dia," kata Karin tersipu.

"Bagaimana Karin? Kamu yakin akan ingatanmu?" tanya Putera Baginda memastikan.

"Iya, Ayah. Karin yakin, kalau Karin bertemu dengan salah satu penjahat yang menghadang kami saat itu, Karin masih mengenalinya," sahut Karin.

"Kalau begitu, kita ke Balai Agung sekarang," perintah Baginda Raja. Putera Baginda, Karin, dan Arjuna mengikutinya dari belakang.

Balai Agung sudah penuh dengan para menteri. Mereka riuh sendiri karena sebagian menteri itu tidak punya petunjuk mengapa Baginda Raja mengadakan pengadilan luar biasa.

"Karin, perhatikan mereka. Jika ada yang kamu kenali, tunjuk dan suruh maju!" titah Baginda Raja.

"Baik, Baginda Atok," sahut Karin.

Baginda Raja duduk di kursinya. Kursi Baginda Raja bukanlah sebuah singgasana megah, hanya kursi kayu berukir biasa. Karin merasa kemewahan bukanlah bagian dari kehidupan Arjadwipa. Mereka menggunakan segala sesuatu sesuai fungsinya, bukan penampilannya.

Setelah berkeliling Balai Agung, Karin menemukan wajah yang tak asing baginya. Ia tak pernah bertemu orang itu, tapi mengenalnya. Karin yakin, orang ini adalah orang jahat yang muncul di mimpinya.

"Yang ini, Baginda Atok," teriak Karin pada Baginda Raja. Karin berdiri agak jauh dari Baginda Raja, karenanya ia harus sedikit berteriak agar Raja mendengarnya.

"Kemarilah!" titah Baginda Raja pada orang tersebut. Yang ditunjuk kebingungan namun maju mendekati Baginda Raja.

"Abang Mulia Darji, abang dari Dhayita?" tanya Baginda Raja. Karin terkejut, ternyata orang ini adalah abang dari Dhayita.

"Di mana anakku, Darmawan, berada?" tanya Baginda Raja langsung ke pokok masalahnya.

Wajah Abang Mulia Darji berubah dari bingung menjadi takut. Ia tak berani menatap wajab Baginda Raja.

"Saya tidak mengerti, Baginda," katanya.

"Abang Mulia Darji, kamu tidak bisa mengelak lagi. Cucuku menyaksikan kejadian itu, saat engkau menghadang Darmawan, sembilan belas tahun yang lalu," kata Baginda Raja marah.

"Tidak, Baginda. Bukan saya. Tidak mungkin. Dohitra pasti salah. Lagipula, kita seharusnya tidak memercayai ingatan anak bayi," kata Abang Mulia Darji membela diri. Karin terkejut mendengar ucapan Abang Mulia Darji. Saat itu juga ia yakin, pelakunya adalah Abang Mulia Darji di hadapannya ini.

"Abang Mulia Darji," kata karin, "saya bukan anak bayi yang sedang digendong Paman Darmawan sembilan belas tahun yang lalu. Saya adalah anak yang digandeng oleh Paman. Lagipula, darimana Anda tahu bahwa Paman Darmawan saat itu sedang menggendong bayi?" serang Karin.

"Darji!" kata Baginda Raja marah. "Pengawal, seret Darji ke ruang interogasi, dan panggil Dhayita ke sini, sekarang juga!" titah Baginda Raja.


**Bersambung ke Lima Puluh Lima**


Panduan membaca bahasa Korea pada naskah:

huruf vokal di Korea seperti pengucapannya.

Ae dibaca E seperti pada "ekor"

Eo dibaca O seperti pada "ekor"

Eu dibaca E seperti pada "elang"

O dibaca O seperi pada "o, p, q, r, s"

E dibaca E seperti pada "a, b, c, d, e"

H setelah huruf N sering tidak dibaca/lesap

Rahasia Baek KarinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang