Empat Puluh Tujuh

90 14 0
                                    


Debur ombak bersahut-sahutnya di belakang Karin. Tempiasnya membasahi celana denim Karin. Namun Karin tak memedulikannya, dirinya fokus dengan sikap mempertahankan diri di belakang Arjuna. Siapa orang-orang ini? Mengapa mereka meraa kenal baik denganku? pikiran Karin berkecamuk.

Cukup lama Karin dan Arjuna menunggu di dermaga, kemudian datangnya seorang laki-laki dewasa yang wajahnya seakan tak asing bagi Karin. Ia memegang lengan Arjuna dengan lebih erat. Arjuna yang seakan memahami itu, menoleh ke belakang dan menenangkannya.

"Kenapa?" tanya Arjuna berbisik pada Karin.

"Dia, sepertinya aku kenal dia," kata Karin.

"Di mana?" tanya Arjuna.

"Entahlah, tapi sepertinya aku mengenalnya," jawab Karin.

Laki-laki itu mendekat pada Karin, dengan ditemani beberapa orang di belakangnya.

"Karina?" kata laki-laki itu. Karin sedikit melonggarkan pegangannya pada Arjuna. Suara itu pun tak asing buat Karin. Wajah dan suara yang familier, siapakah dia? pikir Karin.

"Kakak Karina?" kata laki-laki itu lagi. Kali ini Karin melepaskan lengan Arjuna. Karin mengingat di mana ia bertemu laki-laki ini. Dalam mimpinya.

"A.. Ayah?" kata Karin. Arjuna terkejut dan memandang Karin, sementara Karin tak yakin dengan ucapannya sendiri. Jadi mimpi yang dia alami selama ini bukanlah sekadar mimpi, semua itu adalah bagian dari ingatan Karin.

"Karina, kamu sudah tumbuh dewasa." Laki-laki itu memandang Karin dengan penuh harap, seakan ingin memeluknya.

"Benarkah dia ayahmu?" tanya Arjuna berbisik.

"Aku tidak tahu. Sepertinya iya. Dia selalu hadir di mimpiku sebagai 'ayah'," jawab Karin.

"Selamat pagi," sapa Arjuna pada laki-laki itu. "Boleh tahu, siapa?" lanjut Arjuna.

"Aku dengan kamu adalah calon suami Karina?" tanya laki-laki itu pada Arjuna.

"Benar," jawab Arjuna.

"Aku adalah ayah Karina, terima kasih telah menjaga Karina selama ini," kata laki-laki itu sembari mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Arjuna.

"Ayah Karin?" tanya Arjuna sembari menerima jabatan tangan itu.

"Sebaiknya kita masuk ke dalam. Tidak nyaman berbicara di tepi pantai seperti ini. Tempias ombaknya terasa asin di lidah," ucap laki-laki itu mencoba bercanda.

Arjuna memutuskan untuk mengikuti laki-laki ini masuk ke dalam pulau. Ia menggenggam tangan Karin erat-erat. Mungkin saja laki-laki ini adalah ayah Karin, mungkin juga tidak.

Mereka masuk ke dalam pulau, melewati beberapa hutan kecil. Sesuatu yang mencengangkan menunggu mereka di dalam pulau. Seakan tak percaya, kondisi di dalam pulau Puteri berbeda dengan penampakan luarnya. Peradaban di dalam pulau Puteri sangat maju. Seakan ada kota di dalam pulau ini, rumah-rumah tertata rapi dan bentuknya sangat indah. Orang-orang bekerja dengan riang, berbincang dengan riang, dan saling sapa juga dengan riang. Karin langsung merasa nyaman dengan pulau Puteri ini.

Setiap orang yang melihat laki-laki ini lewat, akan menundukkan kepala atau badannya dan menyapa "Salam Putera Baginda". Laki-laki yang dipanggil "Putera Baginda" ini lalu menjawab salam mereka dengan mengangkat tangan, mengangguk, atau tersenyum. Kemudian ketika orang-orang melihat Karin, mereka kemudian berbisik-bisik. Salah satu bisikan itu terdengar oleh Karin, suaranya seperti mengucapkan "Dyah Ayu".

Mereka tiba di sebuah rumah berukuran sedang dengan desain dan interior yang sangat bagus. Tidak terlihat mahal, bahkan beberapa terbuat dari bahan-bahan pantai seperti bebatuan pantai atau kerang, tapi rumah ini terlihat sangat nyaman. Putera Baginda mengajak Karin dan Arjuna masuk ke dalam rumah, sementara orang-orang yang mengikutinya menunggu di luar.

"Ini adalah rumah Ayah, Karin," katanya.

Karin terkesiap mendengarnya memanggil dirinya "ayah", namun Karin mengikutinya masuk ke dalam rumah.

"Duduklah. Ayah akan mengambilkan minuman. Lalu kita akan berbincang," pinta Putera Baginda. Karin duduk di salah satu kursi sice, kemudian Arjuna duduk di sampingnya.

Putera Baginda keluar dari bagian dalam rumah dengan tiga gelas piala di tangan kiri dan sebotol minuman dingin berwarna merah muda di tangan kanan. Ia menuangkan minuman itu dan membaginya pada Karin dan Arjuna.

"Bagaimana kabarmu, Karin?" tanya Putera Baginda memulai percakapan.


**Bersambung ke Empat Puluh Delapan**


Panduan membaca bahasa Korea pada naskah:

huruf vokal di Korea seperti pengucapannya.

Ae dibaca E seperti pada "ekor"

Eo dibaca O seperti pada "ekor"

Eu dibaca E seperti pada "elang"

O dibaca O seperi pada "o, p, q, r, s"

E dibaca E seperti pada "a, b, c, d, e"

H setelah huruf N sering tidak dibaca/lesap

Rahasia Baek KarinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang