Ketika menginjakkan kembali kaki gue di rumah ini, yang pertama kali gue dapatkan adalah senyum lebar Bunda ketika ia berlari kecil meninggalkan segelintir tanamannya yang sedang ia siram dengan sayang saat gue tiba-tiba saja membuka pintu pagar. Senyumnya merekah dengan detik berikutnya memeluk tubuh gue dengan erat.
Di sepanjang hidup gue, belum ada sekalipun dimana gue meninggalkan rumah dengan jangka yang lama. Kemudian kita memilih untuk menikah dan bersedia mengikuti kemana pun langkah Alvin pergi, tentu rasanya berat sebab rumah ini harus gue tinggalkan.
"Kamu tuh ya, kenapa kok jarang banget pulang sih! Gak tau apa Bunda tuh kangen, lho!"
Gue tertawa kecil ketika tangan gue di tarik pelan oleh Bunda untuk masuk ke dalam rumah. Gue pun sama, namun memang Bunda saja yang sedikit dramatis. Padahal minggu lalu gue sempat pulang ke rumah kok, meskipun tidak menginap sebab gue tahu betul kalau Alvin sedang dalam masa-masa sibuknya. Kan, kalau gue menginap sendiri justru akan menimbulkan pemikiran aneh nantinya.
"Masak apa, Bun? Aku laper."
"Ada ayam kemangi dan pokcoy, mau makan?"
Mata gue berbinar, mendengarkan Bunda memasak santapan lezat ala rumahan itu mampu membuat perut gue semakin keroncongan. "Ya mau dong, masakan Bunda masa aku gak mau."
Bunda sudah menyiapkan piring di atas meja, kemudian mengambilkan nasi putih untuk gue, memperlakukan gue layaknya anak yang sudah lama tidak pulang ke rumah. Ketika Bunda sudah meletakkan piring tersebut di hadapan gue dan menarik satu kursi untuk ia duduki, gue langsung saja menyantap makanan ini dengan segera. Tentunya juga dengan lahap.
"Ayah sama Abang kerja, ya?"
"Huum, Abangmu paling nanti sore baru balik. Ya... kalau Ayah gak menentu itu jam berapa pulangnya."
Gue menyuapkan nasi ke dalam mulut, memejamkan mata saat nikmat memanjankan lidah gue, sebab sedari dulu masakan Bunda selalu berhasil membuat gue makan dengan lahap tanpa harus memikirkan berapa banyak kalori yang telah menjalari tubuh gue.
"Suamimu mana?"
"Ya ngajar," guemeneguk segelas air putih dan membawa piring yang telah tandas tak bersisa ke wastafel. Menjawab pertanyaan Bunda sembari menghidupkan keras air untuk membasuh piring kotor.
Beberapa jam gue lewati bersama Bunda, harus segera diakhir saat mendapatkan satu panggilan dari Alvin yang sudah hampir sampai untuk menjemput gue disini. Dan ketika tubuh itu tergerak untuk menyalami Bunda sejenak, gue mendelik sebab melihat perlakuan Alvin yang seolah menunjukkan sikap manis dan santunnya, disambut pula dengan Bunda yang tak kalah girang ketika melihat menantunya itu datang untuk menjemput gue.
Alvin yang sudah lebih dulu kembali masuk ke dalam mobil, meninggalkan gue yang masih termenung sejenak. Sebelumnya akhirnya Bunda mengelus punggung gue pelan, kembali tersenyum ketika netra gue menatap manik matanya yang lembut.
"Ra, nikah itu sekali seumur hidup, di jaga baik-baik ya. Pasti bisa kok kamu, Bunda yakin kamu dan Alvin pasti bisa."
Yang entah mengapa, gue merasa yakin bahwa Bunda tahu betul bahwa pernikahan ini tak layak pada umumnya. Mungkin saja, sebab gue sama sekali gak pernah cerita apa pun. Kami berdua selalu bersikap netral saat di depan orang tua masing-masing. Sore itu gue meyakini bahwa insting Bunda sangatlah kuat. Sebab gue sendiri saja ragu, tentu saja. Bisa katanya, lantang sekali ketika kata itu terlontar yakin dari mulut Bunda.
***
Begitu aroma yang sangat kuat mulai menguasai ruangan, derap langkah kaki pun semakin jelas terdengar. Dari arah pandang gue, gue bisa melihat jelas Alvin sudah duduk di meja makan. Dua mangkuk mie rebus langsung gue letakkan di atas meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
COLD LECTURER (REVISI)
RomanceMendapati dirinya akan di jodohkan, Vira merasa konyol saat Handi-sang Ayah-tak sedikitpun mengizinkan dirinya untuk mengeluarkan sebuah argumen penolakan. Sial yang didapatnya saat mengetahui bahwa Alvin-salah satu dosen muda di kampusnya merupaka...