Sehabis Dzuhur tadi, mata gue merasakan kantuk yang melanda hingga menyebabkan diri gue baru terbangun saat pukul 4 sore. Tadi, seingat gue ada Alvin disini. Bukan ikut tertidur juga, namun hanya duduk dengan iPad di pangkuannya. Entah melakukan apa.
Pak Alvin kemana ya?
"Pak, dimana?!" gue sedikit berbicara lantang, keluar dari kamar yang dimana langsung membuat gue menutup mulut akibat merasa ingin bersin saat mencium aroma masakan yang begitu menyengat.
Melangkahkan kaki kearah suumber aroma, di dapur gue melihat ada seorang wanita paruh baya—Sanum namanya—yang seingat gue, merupakan ART yang sudah bersama Alvin sedari kecil. Mbok Sanum memang tak di tempatkan disini, sesudah ia selesai memasak maka ia akan pulang. Katanya begitu, saat Alvin mengatakan pada gue satu minggu lalu, dimana kami baru saja pindah ke rumah inii.
"Mbok, liat Pak Alvin nggak ya?"
Mbok Sanum yang sedang berkutat dengan masakannya, mengalihkan atensi saat gue berbicara. "Mas Alvin tadi Mbok liat pergi keluar, katanya ada urusan sebentar."
Bibir gue membentuk huruf O, menatap Mbok Sanum yang tampak sibuk. Ya ... gue jarang memasak sih, sehingga sama sekali gak berniat untuk membantu. Biar sajalah, gue memilih untuk duduk di pantry sembari memainkan ponsel.
"Udah sama Pak Alvin dari kapan, Mbok?" gue bertanya, sesudah meletakkan ponsel ke dalam saku celana akibat bosan.
"Waduh, udah lama banget. Pokonya waktu neng Shilla kecil deh."
Lama sekali, bahkan umur gue dan Shilla tak berbeda jauh. Yang artinya, sudah hampir 20 tahun lamanya—atau mungkin lebih.
Memang, kini Mbok Sanum tak lagi disana. Itu semua atas keinginan Mama, katanya biar gue nggak harus repot bersihin rumah.
Mama mertua gue itu .... begitu baik. Bersyukur sekali rasanya.
Mendengar pintu terbuka, tubuh gue bangkit dan berjalan kearah depan. Benar saja, Pak Alvin ada disana. Menenteng beberapa kantong plastik, kelihatannya seperti dari supermarket.
"Bapak dari mana?" tanya gue, hanya sekedar basa-basi semata sebab gue sudah tau saat melihat kantong plastik yang Alvin genggam.
"Supermarket."
"Ngapain?"
"Beli bahan makanan, tadi pas Mbok mau masak saya liat udah mau habis."
"Kok ga ngajak saya?"
"Emangnya bocah kayak kamu bisa diajak belanja bahan makanan, ya?" ucapan yang Alvin lontar, lantas membuat gue menatapnya kesal.
Alvin setan.
Kurang ajar sekali. Gue tahu, terkadang mulut Alvin memang bak petasan. Tak jarang, banyak mahasiswa yang menyumpah serapahinya.
"Ya bisa lah, malah saya gak yakin kalau Bapak yang belanja," gue membalas, menatapnya tak kalah sengit.
"Kenapa begitu?" Pak Alvin menyerahkan belanjaan yang ia bawa kepada Mbok Sanum. Berjalan di belakang gue yang memilih duduk di sofa. Tentunya juga turut serta mendaratkan bokongnya disana.
"Kan Bapak cowok."
Kening Alvin berkerut, menatap kearah gue bingung. "Jadi kalau cowok gak bisa beli bahan makanan?"
Gue mengangguk mengiakan. Yang justru saja, malah membuat Alvin tertawa. Pelan sekali. Malah lebih terdengar seperti kekehan.
"Kok bapak ketawa?"
"Lucu aja."
"Saya?"
Alvin menggeleng, "pernyataan kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
COLD LECTURER (REVISI)
RomanceMendapati dirinya akan di jodohkan, Vira merasa konyol saat Handi-sang Ayah-tak sedikitpun mengizinkan dirinya untuk mengeluarkan sebuah argumen penolakan. Sial yang didapatnya saat mengetahui bahwa Alvin-salah satu dosen muda di kampusnya merupaka...