Baturaden

46 4 2
                                    

Ting!

Handphone gue bunyi, gue pastiin bukan dari tukang galon. Iya siapa lagi kalau bukan Fina.

"Tegar, kamu dimana?"

Gue bales kalau lagi di kantin sama si Arik. Katanya si dia mau nyusul tapi ya gue cuek aja si. Lagian mau nyusul apa engga juga terserah. Jam kuliah juga udah engga ada hari ini.

Ternyata emang bener, dia nyusul, sendiri lagi, aduh insting ojek ku mulai beraksi.

"Hai Arik, Tegar" Sapa Fina dengan lengkungan bibir khasnya.

"Baru berangkat apa udah pulang?" Tanya gue sambil bergeser tempat duduk.

"Baru berangkat, tapi ternyata kosong. Kesel banget udah berangkat tapi di php gini." Jawab Fina sambil duduk di sebelah gue.

"Udah makan belum Fin? Kita baru selesai soalnya ini" Ujar Arik

"Udah kok tadi dirumah"

"Oo bagus deh, soalnya gue mau balik kontrakan dulu. Orang tua gue mau kesini" Balas Arik sambil ngeraba sakunya.

"Seriusan lo Rik? Tumben banget orang tua lo kesini?" Jawab gue

"Iya serius gar, nanti malem lo kesana ya?"

Tinggal gue sama Fina di meja itu, gue asik main hp buka Instagram, Twitter, WA bolak-balik deh. Gue cuma bingung mau ngomong apa sama Fina. Gue juga lagi berusaha untuk menjaga perasaan, biar engga terlalu jauh sama Fina.

"Gar, kamu homo?" Fina tanya tiba-tiba

"Anjirr, homo gimana ceritanya" Jawab gue sedikit ngegas.

"Lagian diem aja daritadi, padahal ada cewek disampingnya."

"Ya trus gue harus ngapain? Momong lo? Gendong? Apa nenenin?"

"Kamu kan cowok, masa nenenin."

"Udah si mau ngapain nyamper gue disini?"

"Pengen jalan-jalan hehe, mumpung kosong gar. Ayolah mau ya"

Aduhh beneran kan, insting ojek gue emang engga bisa berbohong. Saat Fina datang, otak gue tuh udah merasakan rangsangan alami dari kekuatan-kekuatan supranatural. Aura-aura ojek sudah menyelimuti kayaknya.

"Mau kemana? Jangan lama-lama gue bakalan ngantuk"

Fina minta gue jalan-jalan kesuatu tempat, kami menuju ke arah utara kota Purwokerto. Perjalanan tidak lama, hanya sekitar 30 menit kami sampai di lereng gunung slamet. Baturraden.

Fina tiba-tiba minta gue berhenti di tepi jalan yang lumayan sepi. Sekitar kami hanya hutan yang cukup lebat dan agak gelap. Nyaris tidak ada motor disini. Fina tidak beranjak dari tempat duduknya. Tiba-tiba Fina memeluk gue dengan erat. Sangat erat, udah lama gue engga ngerasain itu. Sontak gue kaget karena Fina menopangkan dagunya di bahu gue. Kemudian ada sedikit air yang gue rasakan. Ternyata itu air mata Fina. Gue engga tahu apa yang terjadi sama Fina. Tapi, insting gue sebagai ojek adalah memberi kenyamanan untuk penumpang. Jadi gue bergegas buat pergi dari jalan itu.

Untuk pertama kali, gue pegang tangan Fina yang melingkar di perut gue. Berharap mengelus tangannya akan bikin dia sedikit nyaman. Masa bodoh dengan apa yang terjadi, intinya gue engga suka kalau ada cewek nangis sekitar gue. Ditepi jalan, gue memutuskan untuk mampir ke warung kecil yang menghadap langsung dengan pemandangan kota Purwokerto.

"Fin, kita istirahat disini dulu ya. Kayaknya mau hujan siang ini, udah mulai mendung" Ujar gue sambil nurunin standar motor.

"Iya gar" Balas Fina, dengan senyumnya.

Fina terlihat sedih, beberapa kali mata dia kosong seperti memikirkan sesuatu. Gue mau nyoba tanya, tapi kayaknya bukan waktu yang tepat. Dilain sisi, gue juga sedang berusaha cuek sama Fina. Kopi dan teh hangat yang gue pesan di warung itu, ditemani mendoan hangat yang menemani siang yang mendung itu.

"Itu tempatnya gar" Fina tiba-tiba bicara, namun dengan menatap teh hangatnya.

"Tempat apa?"

"Aku sayang banget sama dia"

Gue kayaknya udah paham apa yang diomongin sama Fina.

"Dia korban tabrak lari, sebulan setelah kami wisuda SMA. Aku sayang banget sama dia, tapi Tuhan lebih sayang." Lanjut Fina dengan matanya yang berkaca.

"Siapa namanya?" Balas gue

"Rendi. Namanya Rendi. Dulu kita udah berencana buat kuliah bareng di Jakarta. Bahkan kita udah sering belajar bareng, keluarga kita udah saling mengenal. Bahkan Rendi kadang nginep di rumahku. Dari SMP kita pacaran, aku sayang banget sama dia gar."

Fina seperti menahan tangisnya. Raut mukanya lebih mendung dari cuaca siang ini. Keceriaannya ternyata menyimpan duka dan luka yang cukup dalam. Aku melihat diriku bercermin saat mendengar ceritanya. Kita sama-sama ditinggalkan oleh orang yang kita sayang. Bedanya, dia berpisah karena maut. Gue berpisah karena jalan buntu.

Setelah gue mendengar penjelasan Fina tadi. Engga tau kenapa gue merasa ada perasaan yang baru terhadapnya. Semoga ini hanya rasa empati setelah Fina bercerita. Bukan karena rasa sayang atau bahkan rasa ingin memiliki. Gue sadar diri, engga pantes buat Fina.

"Tegar, maaf membawamu kesini" Ucapan Fina meruntuhkan lamunan gue.

Tanpa pikir panjang, gue memeluk fina yang duduk di sebelah gue. Badannya dingin mungkin karena engga pake jaket daritadi. Tanganya memegang erat lengan gue, dan gue balas dengan mengelus pelan punggungnya.

Cuaca yang mendung tiba-tiba menjadi hujan yang cukup besar. Warung kecil itu menjadi saksi, saat Fina menceritakan masa lalunya.

Timpang Rasa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang