13. Respon

247 50 2
                                    

Jika ditanya apakah aku masih memiliki perasaan pada Raka. Jujur saja, iya. Terkadang aku rindu padanya yang tiba-tiba saja mengajak makan diluar atau sekadar jalan-jalan memutari Yogyakarta.

Aku masih melirik dia yang lewat di depanku. Atau kadang menangis sendiri malam-malam karena aku baru terpikir sekarang kenapa dia bisa memutuskan aku dan kenapa juga aku bersikap seperti tak apa-apa.

Hampir tiga bulan tidak kontakan dan tahu-tahu dia menggandeng orang baru, membuat aku berpikir bahwa aku mungkin tak punya kesempatan lagi. Dia mungkin tak membuka hati lagi padaku.

Aku tak mengerti kenapa sekarang aku seperti berharap, padahal kemarin jelas-jelas aku yang memintanya untuk menghilang dari kehidupanku.

Benar kata Igo, aku ini sangat labil dengan perasaanku sendiri yang tak bisa menentukan dengan jelas dan tegas apa yang harus dilakukan.

Sungguh ironis. Baik kisah cinta maupun kehidupanku.

-

Minggu ini, dengan berat hati aku harus menghabiskan waktu dengan Wira saja karena Tiara sibuk dengan lomba UKM. Perempuan itu masih saja mengikuti lomba padahal sudah memiliki sertifikat segudang tinggal memilih yang mana harus ia pamerkan.

Aku menunggu Wira yang belum juga keluar dari gedung fakultasnya. Padahal katanya saat aku telepon, dia sudah selesai kelas.

"Woi manusia," Wira menepuk pundakku. "Sori lama gue ngomong sama teman dulu tadi."

Aku menoleh, Wira terlihat segar karena hari ini dia hanya punya satu kelas. "Gapapa," kataku padanya. "Sekalian gacoan yuk? Gue pengen banget makan mie."

"Iyaaa sesuka lo aja," Wira menjawab sambil memimpin jalan ke parkiran.

Aku mengikuti dia dibelakang. Tersenyum sendiri karena tidak harus berkelahi dulu untuk menentukan harus makan apa. Wira memang lebih banyak menurut dan diam jika bersama aku.

"Sepi ya nggak ada Tiara," Wira berujar sambil memasang seatbelt. "Tuh anak ambisnya tinggi banget."

Aku tertawa. "Iya, enak ya dia banyak banget yang dikejar. Gue mah ngurusin percintaan mulu sampai goblok."

"Kemarin Raka ngechat gue pas abis nonton," katanya. "Ngajak nongkrong tapi gue gamau."

"Kenapa nggak mau? Biasa lo langsung cus kalau dia ngajak nongkrong."

Wira menghela nafas kasar. "Males, Ras. Maya ngikut mulu kaya benalu. Mana Raka mulai ngerespon, gimana nggak tambah lengket coba."

Aku tertawa kencang. Teringat kejadian kemarin di toilet bioskop. Aku baru sadar perempuan itu memblokir instagramku, mungkin sakit hati karena tidak mendapat bantuan.

"Anak-anak mulai males nongkrong kalau ada Maya. Raka nggak ngasih tau, tapi tiba-tiba tuh cewek nongol," Wira mulai curhat. "Terus kelakuannya aneh-aneh. Gimana kita nggak jengkel coba."

Wira menoleh padaku. "Lo gamau balikan apa sama Raka demi masa depan tongkrongan gue yang udah diambang kehancuran?"

"Nggak lah gila lo," aku menolak. "Jomblo enak ternyata, Wir."

-
Aku sedang makan sendirian, Wira sedang sibuk menerima telepon. Dia berulang kali menoleh padaku sambil terus berbicara di telepon.

"Kenapa Wir?" tanyaku saat dia sudah duduk kembali.

"Nyokap gue. Dia nyuruh gue jemput temannya di Adi Sucipto," Wira menghabiskan pangsit yang tertunda ia habiskan. "Kesel banget gue harus jemput tiba-tiba."

"Kapan emang?"

"Sekarang."

Aku menatapnya kaget. "Hah? Terus gue gimana? Makanan lo gimana?"

April: Rasa di Antara Kita[✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang