17. Hal-Hal Manis

223 37 0
                                    

⚠️⚠️⚠️
ada adegan 17+nya ya.

-

Tiara mengetuk-ngetuk pulpennya sebal karena aku  menatap ponsel tak ada henti. Menunggu notifikasi pesan atau dering telepon sejak pagi tadi, namun tak satupun ada masuk dari orang yang aku harapkan.

"Ras, lo dengerin gue nggak?"

Aku menoleh, mendapati Tiara dan Wira yang sama-sama menatap antara kasihan dan bingung. Bahkan Tiara sudah mengabaikan laporan yang ada di depannya.

"Jangan di tungguin deh, Ras," kata Wira lalu kembali bermain pada laptop yang dia punya. "Terasa lama banget kalau lo nungguin."

"Gue salah ya?"

"Ya salah lah," Tiara langsung menjawab pertanyaanku dengan jengkel. "Udah tau dia mau baik-baik sama lo, mau memulai dari awal. Lo malah nanya lagi. Kalau gue jadi dia juga bakal tersinggung kali."

Wira menutup laptop. Menopang dagunya lalu menatap kami berdua. Dia menghela nafas, terlihat tak ingin ikut campur namun sepertinya harus bersuara juga.

Wira mengaduk es kopi sisa setengah yang dimilikinya. "Kalau gue sih juga bakal nanya Ras."

Ucapan Wira membuat aku dan Tiara kompak sama-sama menoleh pada dia yang masih mengaduk es kopi itu. Alis kanannya terangkat.

"Gue pribadi nih ya, kalau punya hubungan yang tarik-ulur kaya lo juga bakal hati-hati dalam sesuatu.  Maksudnya, gue gamau melewatkan kesempatan yang ada, tapi gue juga gamau melakukan kesalahan." Wira menjelaskan panjang lebar dari perspektifnya. "Mana lo sama dia berakhir karena bosan. Embel-embel doang mau mulai dari awal lagi, nyatanya tetap sama lo dan Raka sudah tahu tetek-bengek masing-masing."

Tiara memutar bola matanya malas. "Nih ya, masalahnya yang bego disini tuh elo, Ras. Lo yang nge-iyain saat Raka ngajak dari awal lagi, lo yang sok nanya 'kita ini apa sih?', lah lo juga yang galau. Maksudnya gimana tuh?"

"Gue tuh nggak ada maksud, cuman minta penjelasan aja," kataku mencoba memberikan pengertian yang entah akan membela atau menjatuhkan diriku sendiri. "Gue sayang banget sama dia sumpah. Sesayang itu sampai gue gak tega melihat dia yang sangat jujur."

Tiara melipat kedua tangannya di dada, saling melempar pandang pada Wira. Seolah berkata bahwa aku adalah orang yang paling menyebalkan, tak bisa diandalkan, dan plinplan dalam menjalani suatu hubungan.

Mereka sepertinya menyerah untuk memberikan aku sebuah saran karena selalu saja aku mendengarkan, tapi aku tak melakukan.

Sesuatu yang sangat membuang tenaga jika berbicara banyak hal, namun hanya masuk telinga kiri keluar telinga kanan.

Wira bersandar pada kursi. "Laras Cahya, gue gabisa kasih saran apa-apa lagi sama lo. Cuman lo yang bisa mengerti dan ambil tindakan," katanya lalu melanjutkan kembali. "Pikirkan baik-baik sebelum lo menerima sesuatu ataupun menolak sesuatu, jangan sampai ada hati yang terluka lebih dalam lagi."

"Memang terkadang menjalin hubungan membuat kita seperti anak kecil, tapi dalam menjalin hubungan juga harus punya sikap pendewasaan sendiri," laki-laki itu menyelesaikan kalimatnya.

Perkataan Wira menghantamku keras. Aku memang bertindak seakan-akan tak berpikir tentang banyak hal yang akan terjadi. Aku bertindak memang terburu-buru.

Di saat itu juga, aku memikirkan segala hal tentang sesuatu yang belum terjawab dan yang akan datang. Demi menghindari sakit hati yang lebih dalam.

-

April: Rasa di Antara Kita[✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang