MENCINTAI SEPUPUKU BAB 1

19.2K 352 9
                                    

Arkan’s PoV

Aku sudah bersamanya sejak ia kecil. Bayi merah dengan tangis nyaring seolah meminta sang ibu untuk segera membuainya dalam pelukan. Usiaku baru tujuh tahun saat dia lahir. Bersamaan dengan kelahirannya, ayahnya pergi meninggalkannya selamanya. Kecelakaan dalam perjalanan ke rumah sakit sewaktu dia akan lahir.

Aku merasa bertanggung jawab atasnya. Aku memang masih kecil saat itu. Tetapi kala aku melihat tatapan Om Edwin saat lelaki itu berada di atas brangkar dengan berlumur darah, aku merasa Om Edwin menitipkan Lily padaku. Setiap aku mengingat tatapan itu, bebanku seolah bertambah untuk menjaga Lily, memastikan kebahagiaannya.

“Tante Fifi akan melahirkan adik kecil untuk kamu. Kamu akan menyayanginya kan?” ujar Om Edwin kala itu.

Om Edwin adalah adik Mama. Aku cukup dekat dengannya. Papa yang sibuk dengan bisnis dan Mama yang dulunya seorang guru membuatku jarang mendapat perhatian khusus dari mereka. Justru Om Edwin-lah yang memberi perhatian yang kubutuhkan itu. Untung saja Mama juga cepat behenti dai pekerjaannya hingga aku tidak melulu harus mencari kasih sayang di tempat lain.

“Adiknya perempuan atau laki-laki, Om?”

“Perempuan.”

Aku segera menggeleng, “Arkan gak mau. Arkan mau adik laki-laki.”

Om Edwin hanya membalas dengan senyum tipis. Aku slupa apa yang dikatakannya lagi saat itu. Karena setelahnya aku sibuk bermain dengan robotku. Mengabaikan Om Edwin setelah tahu bahwa adik yang akan Tante Fifi lahirkan bukan laki-laki. Bukan yang bisa kuajak bermain robot.

Sekarang, putri yang Om Edwin minta padaku untuk kusayangi sudah dewasa. Usianya sudah dua puluh tahun. Ia baru saja menamatkan pendidikan sarjananya dan sudah bekerja di perusahaan kekasihnya. Iya, dia beberapa kali menempuh jalur akselerasi. Namanya adalah Lilyana Sigit. Cantik, muda, pintar dan baik.

Padaku, Lily cenderung manja. Mungkin karena sejak dulu aku selalu menuruti kemauannya. Awalnya, aku hanya menjalankan tanggung jawab yang Om Edwin pikulkan padaku untuk menyayanginya. Ya, hanya sebatas tanggung jawab.

Namun tanpa kusadari, aku mulai terbiasa. Terbiasa melihat senyumnya, terbiasa mendengar rengekannya, terbiasa dengan segala hal yang berhubungan dengannya. Aku tidak lagi melihatnya sebagai sepupu yang harus kusayangi sebatas tanggung jawab.

Aku melihatnya sebagai seorang gadis. Benar-benar bukan hanya sebagai tanggung jawab. Kalian mengerti kan maksudku? Ya, aku mulai bermain hati.

“Maaaaas!” teriakan itu terdengar. Aku, Papa dan Mama sudah terbiasa mendengar teriakan itu. Siapa memangnya? Tentu saja Lily.

Aku melihat jam di dinding. Ini baru jam tujuh. Kutebak dia baru pulang bekerja, mandi dan segera kemari. Rumahnya berada di sebelah rumahku. Mudah saja baginya untuk datang ke rumah ini.
Pintu kamarku dibuka dari luar. Aku yang duduk santai di atas sofa coklat langsung menoleh dan mengangkat alis. Saat itu juga kulihat wajah Lily yang sembab. Pakaiannya masih pakaian kerja. Tebakanku tentang dia yang sudah mandi salah total.

“Kenapa?” tak ayal aku merasa cemas.

“Vino selingkuh.” tangisnya muncul lagi, “Lily lihat dia ... pelukan sama perempuan ... lain di ... ruangannya.” lanjutnya tersendat.

Lily memelukku sebelum aku sempat menjawabnya. Tangan kananku terangkat mengusap punggungnya yang bergetar. Sementara tangan kiriku terkepal kuat. Sialan Vino.

Bukan sekali dua kali Vino mengkhianati Lily. Entah Lily bodoh atau apa, dia tetap saja menerima Vino ketika lelaki itu minta maaf. Lily sangat mencintai lelaki brengsek itu, itulah yang Lily katakan ketika aku bertanya mengapa ia tak mencari lelaki lain saja.

“Mungkin perempuan itu keluarganya? Sepupunya?”

“Enggak ada sepupu yang pelukan kayak gitu, Mas.” jawabnya saat emosinya terkendali.

“Kamu sering meluk Mas
kayak gini.” aku mencoba untuk mencari celah positifnya.

“Lily enggak ngerti.” gadis itu menggeleng di dadaku. Lily memang terbiasa memanggil dirinya ‘Lily’ ketika berbicara denganku. “Lily enggak mau ketemu Vino lagi.”

Kubiarkan ia melepaskan diri dari pelukanku. Aku menggeser tubuh, membiarkannya masuk ke kamarku dengan leluasa. Separuh dari isi lemariku adalah miliknya. Ia mengklaimnya saat berusia sepuluh tahun.

Lily sering menginap di sini, tidur di sebelahku. Gadis itu tidak pernah merasa bahwa mungkin suatu saat aku menjadi bangsat dan memanfaatkan situasi untuk kepentinganku. Mau bagaimana pun, kami sudah dewasa. Dan aku memendam perasaan padanya.

Matanya masih merah saat Lily selesai mandi. Aku tahu dia menangis diam-diam di kamar mandi. Tidak ada kalimat apapun yang kukeluarkan. Aku cukup tahu bahwa yang membuatnya sesedih ini lagi adalah Vino. Lily butuh ketenangan sekarang. Dia akan mendapatkannya di sini. Sebab jika di rumahnya sendiri, Tante Fifi pasti akan bertanya mengapa Lily menangis. Wajar saja seorang ibu cemas dengan keadaan anaknya.

“Kamu mau tidur di sini?”

Gadis itu mengangguk. Ia naik ke tempat tidur dan menggulung dirinya menggunakan selimut.

“Lily enggak mau bangun pagi ya, Mas.”

“Hm. Kamu mau Mas ambilkan makan malam?”

“Kenyang."

“Ya sudah. Mas tinggal dulu sebentar ya.”
Lily tidak menjawab lagi. Aku menutup pintu dari luar. Terlalu dini untuk tidur sebenarnya, tapi aku memaklumi Lily. Dia sedang butuh ruang untuk sendiri.

“Kenapa lagi dia, Ar?” Mama bertanya saat aku membantunya menata makan malam di meja makan. Papa sudah duduk di kursi paling ujung.

“Diselingkuhin lagi, Ma.”

“Kenapa kamu tidak jujur saja padanya?”

Aku menatap Papa dan menggeleng tanpa menjawab. Kebahagiaan Lily adalah prioritasku. Perasaanku padanya hanya akan membuatnya terbebani. Tidak apa, aku masih sanggup mengatasi perasaanku sendiri.

Aku tidak tahu apa yang akan terjadi ketika perasaanku tak terkendali nanti.

***

Pernah baca ini?

Yep! Ini repost karya mbak @avicennav ya. Udah dapet izin kokk. Sementara gw nulis karya baru hehe

MENCINTAI SEPUPUKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang