MENCINTAI SEPUPUKU BAB 5

5.8K 182 9
                                    

Chapter 5

Arkan’s PoV

Aku ini sudah gila. Tetapi yang Adriana katakan adalah kebenaran. Aku harus menyatakan cintaku pada Lily. Nista sekali jika seorang lelaki seperti aku bersikap pengecut dengan berlama-lama memendam perasaan. Kalau pun Lily menolak perasaanku, setidaknya aku sudah mengutarakannya.

“A-apa?” adalah tanggapan pertama Lily ketika aku berkata bahwa aku mencintainya.

“Mas bercanda kan?”

Aku menggeleng tegas. “Mas cinta sama kamu.”

“Ini gak lucu, Mas. Mas gak mungkin mencintai Lily.”

Saat ini kami berada di tepi lapangan futsal komplek yang menyatu dengan taman. Aku sengaja membawa Lily kemari untuk tujuan tertentu: menyatakan perasaan.

“Maaf jika Mas mencintai kamu, Lily. Tapi kamu tenang saja, Mas tidak akan menuntut kamu untuk membala cinta Mas.” Ujarku menenangkan. Sakit rasanya melihat gadis di hadapanku menatapku kecewa hanya karena aku mencintainya. Apa yang salah dari perasaanku?

“Lily memang gak bisa, Mas. Mas tahu Lily cinta sama Vino.” Dia menunduk, “Mas gak seharusnya memiliki perasaan itu.”

“Seandainya bisa, Mas akan mengendalikannya.” Aku mendongak, tidak kuasa melihat Lily dan penolakannya. Bahkan dari gestur tubuhnya, aku bisa membaca bahwa jika aku maju selangkah, dia akan kabur dariku.

“Maaf, Mas. Mungkin sebaiknya kita mejaga jarak dulu. Mungkin saja Mas salah mengartikan perasaan itu.” dia berdiri dari ayunan yang didudukinya, meninggalkan aroma parfumnya mengelilingi diriku yang setia membatu menatap kepargiannya.

Aku salah menduga, ternyata rasanya lebih sakit dari yang kubayangkan. Sama seperti semua oksigen di sekelilingku ditarik paksa hingga aku sesak napas. Ya, persis seperti itu.

Adalah rencanaku dan Papa supaya aku memberi jarak untuk Lily agar dia sadar bahwa dia membutuhkanku. Nyatanya sekarang adalah, Lily yang meminta jarak itu sendiri.

Aku duduk di ayunan yang tadi Lily tempati, kuambil ponselku untuk mendial seseorang.

“I’m over, Adrina. She’s gone.” Bisikku pada Adriana melalui sambungan telepon. Hanya itu yang kukatakan sebelum mematikan penggilan.

Ini berat bagiku. Aku tak yakin aku bisa melewatinya. Hidup tanpa mendengarrengekan Lily adalah bencana. Hancur sudah perasaanku. Mungkin yang haus kupilih saat ini adalah diriku sendiri. mencari kebahagiaan lain dan mengenyahkan perasaanku terhadap Lily.

“Rokok?”

Aku mendongak, melihat Adriana yang menyodorkan sebungkus rokok dan juga korek api padaku. Bagaimana dia bisa di sini?

“Aku merasa seseorang sedang membutuhkanku.” Dia mengedik acuh, menggoyangkan rokok di tangannya agar aku segera mengambilnya.

“Kamu merokok?” tanyaku bodoh.

Adriana mendengus, “Aku masih sayang paru-paruku.”

Aku memantik api dari korek untuk menyalakan rokokku, “Perokok pasif lebih beresiko terkena penyakit.” Ujarku setelah hisapan pertama.

Adrina duduk di ayunan kosong di sebelahku dan menggunakan kakinya supaya ayunan itu bergerak, “Kalau aku penyakitan nanti, kamu yang haus membayar biaya rumah sakitnya.”

Aku tertawa pelan, “Terimakasih.”

“Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya, Arkan? Mengejarnya seperti yang kukatakan?”

“Dia tidak ingin kukejar. Mungkin aku akan ... berhenti.”

Bermenit-menit selanjutnya yang terdengar di antara kami adalah bunyi gemerisik daun yang terkena angin. Udara malam cukup dingin saat ini, kulirik Adriana. Untunglah dia memakai pakaian yang cukup tebal. Perempuan itu asyik dengan ayunannya.

“Arkan.”

“Ya?”

Adriana menoleh padaku, “Kamu tidak ingat pernah menolong seseorang yang sedang di-bully sampai ingin pindah kuliah?”

Aku berhenti menghisap rokokku. Kupandang Adriana dengan bingung. Menolong seseorang yang sedang di-bully sampai ingin—oh, astaga! Jangan bilang kalau....

“Pergi kalian.” Usirku pada segerombolan gadis manja saat itu. Keterlaluan sekali mereka mengeroyok seorang gadis tanpa perasaan.

“Kampus kita gak butuh cewek culun kayak dia, Ar!” seru salah seorang yang langsung kutatap tajam.

“Pergi. Mau kulaporkan hal ini ke pihak kampus?”

Setelah melayangkan pandangan jengkel, mereka pergi. Aku membantu gadis yang menjadi korban bully-an mereka berdiri. Gadis itu memakai kacamata besar, rambutnya yang dikuncir kuda sudah awut-awutan dan penuh dengan tepung. Gadis itu tidak berani mendongak.

“Terimakasih.”

“Lain kali kamu jangan diam. Lawan mereka.” Kataku setelah menggantikannya mengambil beberapa buku di lantai.

Gadis itu menatapku melalui bulu matanya. Sepertinya dia mahasiswa baru di kampus ini, entahlah.

“Tidak akan ada lain kali, saya akan pindah, Mas.”

Mungkin bukan sekali dua kali dia di-bully oleh gerombolan gadis manja itu. suaranya terdengar putus asa sekarang.

“Dengar. Jika kamu ingin sukses, maka kamu harus berani keluar dari zona yang menurutmu aman. Kamu boleh saja pindah kampus, tapi apa itu akan menjamin kalau hal seperti ini tidak akan terjadi lagi?”

Gelengen pelannya menjadi jawaban.

“Kamu hanya perlu melawan dan membuktikan bahwa kamu layak untuk menjadi bagian dari keluarga kampus ini. Aku ada kelas sekarang, kalau mereka masih menganggumu, laporkan padaku. Namaku Arkan Wiyana.”

Aku mendengarnya mengucapkan terimakasih lagi sebelum aku pergi dari sana.

“Adriana ... kamu?”

“Aku gadis itu, Ar. Gadis yang kamu tolong saat di-bully.”

“Astaga, Adriana.”

Aku berdiri dan memijit pelipisku ketika ingatan lain muncul begitu saja. Ingatan saat kami berbagi cerita. Tentang dia yang memendam perasaan pada seorang lelaki. Tentang dia yang hanya tahu nama lelaki tersebut dan hanya tahu bahwa lelaki itu anak tunggal. Tentang lelaki itu yang katanya dekat dengan seorang gadis. Tentang lelaki yang bekata hal-hal mengenai sukses dan zona aman.

Lelaki itu adalah aku.

Astaga.

“Aku mencintaimu, sejak dulu hinga sekarang. Inilah alasan terkuat mengapa aku melamar pekerjaan diperusahaan papamu. Aku ingin berada lebih dekat denganmu, Ar. Meski kamu tidak pernah menyadari hal itu.”

“Adriana—”

Dia berdiri di hadapanku, meraih kedua tanganku yang bebas karena rokokku telah mati kupijak di tanah.

“Biarkan aku mengobati lukamu, Ar. Kumohon. Aku akan membuatmu jatuh cinta padaku.”

“Adriana, aku tidak bisa menjadikan—”

Pelukan di tubuhku menghentikan kalimat yang ingin kukatakan.

“Beri aku satu kesempatan. Aku mohon.”

Aku menghela napas berat. Kubelai punggungnya dengan lembut. Perempuan ini sudah mencintaiku sejak lama. Aku tak bisa membayangkan seberapa sakitnya dia saat aku menceritakan kisahku dan Lily kepadanya. Sebab ketika Lily menceritakan kisahnya dengan Vino kepadaku, hatiku terasa berdarah.

Mungkin itu juga yang Adriana rasakan. Perempuan baik ini ... astaga....

***

MENCINTAI SEPUPUKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang