MENCINTAI SEPUPUKU BAB 2

11.2K 231 2
                                    

Arkan’s PoV

Aku melihatnya dari balkon kamarku. Lily yang sedang berbicara serius di ambang pintu rumahnya bersama lelaki yang kuketahui adalah Vino. Cukup lama mereka berdiri di sana. Dan ketika aku melihat Lily begitu saja masuk ke pelukan lelaki itu, sekali lagi aku hancur.

Lily bilang, dia tidak mau bertemu Vino lagi. Itu yang selalu dikatakannya setiap hubungannya dengan Vino retak. Tetapi keesokan harinya, ia akan membuka hatinya lagi dan melupakan perkataannya sendiri. Aku sudah hafal di luar kepala alur hubungan Lily dan Vino.

Vino berkhianat, Lily datang padaku sambil menangis, berkata tidak mau bertemu Vino lagi, lalu keesokannya ia memaafkan dan hubungan mereka kembali membaik. Sampai kemudian Vino membuat masalah lagi, Lily datang padaku sambil menangis lagi ... yaa, begitulah seterusnya.

Aku mengusap wajahku. Perasaan ini semakin membelengguku. Sendirian karena Lily bahkan tidak pernah melihatku sebagaimana aku melihatnya. Tidak ada yang bisa kusalahkan selain diriku sendiri. Aku yang menghancurkan hatiku. Tetapi bila aku menyatakan perasaanku dan Lily menjauh karena hal itu, aku akan berkali-kali lipat lebih hancur. Untuk sekarang, biarlah begini dulu. Aku masih betah berkubang dalam luka yang tak kutahu kapan akan berakhir.

“Enggak sarapan dulu, Ar?”

“Enggak, Ma. Aku sudah telat.” Aku berjalan melewati Mama menuju pintu.

Kulajukan mobil yang kubeli dengan uangku sendiri keluar dari pekarangan. Ini mobil pertamaku. Mobil yang kubeli bekas, tidak langsung dari toko. Meski bekas, mobil ini adalah yang terbaik menurutku ... yaa ... lupakan saja bahwa mobil ini sudah sangat sering mogok di tengah jalan.

Aku sempat menoleh ke arah rumah Lily. Dan aku menyesal telah melakukannya. Sebab di saat bersamaan, Lily dengan digandeng oleh Vino keluar dari rumah itu. Senyum yang menghiasi wajah Lily membuatku tersenyum miris.

Aku bahagia jika dia bahagia. Itulah yang selalu kukatakan pada diriku sendiri. Melihat senyumnya aku bahagia meski bukan diriku yang menjadi alasannya tersenyum. Aku benar-benar menyedihkan. Duniaku berpusat padanya dan dunianya berpusat pada lelaki lain.

Lily, tidakkah aku pernah cukup untukmu?
Sebagian orang pasti menyatakan aku gila. Sampai usiaku yang keduapuluh tujuh tahun ini aku menolak untuk berhubungan dekat dengan seorang perempuan. Hanya karena seorang Lily. Mamaku sendiri lebih parah menuduh orientasi seksualku melenceng sebelum aku mengatakan bahwa aku mencintai Lily. Mungkin tidak hanya Mama yang merasa seperti itu melihat aku yang selalu menolak perempuan. Entahlah.

Di kantor Papa tempatku bekerja, aku berada di bagian HR Departement. Jam sebelas nanti aku akan melakukan interview kepada para calon karyawan perusahaan yang telah memasukkan surat lamarannya. Bukan hal mudah sebenarnya berada di bagian HRD. Tugas dan tanggung jawabku sangat berat.

Menyediakan orang-orang yang berkualitas dan kompeten di bidangnya menjadi tugas HRD. Kalau bisa kukatakan, posisi HRD ini sangat vital bagi perusahaan. Menyeleksi sekaligus mengawasi kinerja karyawan, memberikan gaji, memberikan pelatihan kerja dan keterampilan, hingga berurusan dengan pekerja yang memilih untuk berkarir di tempat lain.

Tak jarang pula aku harus benar-benar mengendalikan emosi. Mengapa? Karena yang kuhadapi bukanlah benda mati, tetapi manusia yang memiliki akal dan terkadang yang berego tinggi. Aku dituntut untuk mengatasi setiap permasalahan yang terjadi di bidangku ini.

Lelah? Ya, tentu saja. Kerap kali aku merasa jenuh, tetapi aku bertahan. Karena dengan kesibukan ini, aku bisa mengalihkan pikiranku yang selalu tertuju pada Lily.

Tepat jam sebelas, aku memulai interview. Ada tiga kandidat yang akan kuwawancara. Dan hanya ada satu orang yang akan terpilih. Serangkaian pertanyaan telah kuajukan pada masing-masing kandidat yang kuwawancarai secara bergantian.

“Jika diterima di posisi ini, bagaimana cara Anda untuk mengkritisi masalah pribadi yang mungkin bawahan Anda keluhkan?” tanyaku pada perempuan yang menjadi orang paling terakhir untuk diwawancara. Namanya Adriana Susanti.

Aku cukup tertarik saat membaca profilnya. Dia adalah fresh graduate dengan IP cum laude. Ayahnya juga memiliki usaha sendiri. Hal yang sedikit mengherankan mengapa ia justru melamar pekerjaan di tempat lain.

“Saya akan menerima mereka dengan tangan terbuka, Pak. Adalah suatu kebanggaan bagi saya jika saya memang dipercaya untuk mendengarkan keluhan mereka. Bahkan jika dibutuhkan, saya juga akan memberi mereka saran. Atau jika tidak, saya cukup akan menjadi pendengar yang baik.” dia menjawab tegas.

Aku mengangguk-angguk, menatapnya dengan pandangan menilai tajam. Adriana tidak gentar, dagunya terangkat penuh percaya diri namun tidak terkesan sombong. Usianya baru dua puluh dua tahun, tetapi ia sudah memiliki mindset yang matang.

“Orang tua Anda memiliki perusahaan yang bisa dibilang sangat sukses. Mengapa Anda justru melamar pekerjaan di perusahaan ini?”

Aku melihat senyum tipis yang diulasnya sebelum dia menjawab, “Ada orang yang berkata kepada saya, bahwa jika saya ingin sukses, maka saya harus berani keluar dari zona aman. Dan inilah yang saat ini saya lakukan, Pak. Terus-menerus bergantung pada orang tua bukanlah pilihan bijak mengingat bahwa nanti, akan ada saat di mana saya harus bisa berdiri sendiri.”

Dalam sepersekian detik, jawaban itu membuatku terpana. Jika kau ingin sukses, maka kau harus berani keluar dari zona amanmu. Kalimat itu benar adanya. Terkadang seseorang terlalu menikmati zona nyaman mereka tanpa berpikir bahwa akan ada saat di mana mereka akan menghadapi masa sulit. Tanpa persiapan, maka bersiaplah untuk terasingkan.

“Baiklah, Nona Adriana. Untuk selanjutnya Anda tinggal menunggu kabar dari pihak kami. Terimakasih atas jawaban-jawabannya.”

Interview selesai. Aku nenyandarkan punggung pada sandaran kursi kerjaku. Jelas Adriana adalah jawaban dari posisi kosong di perusahaan ini. Satu tugasku sudah selesai.

Jam menunjukkan waktu untuk makan siang. Jadi aku berdiri. Di seberang gedung kantor ada sebuah restoran kecil. Saat jam makan siang aku rutin datang ke tempat itu. Sampai para pelayan di sana mengenalku dengan baik.

“Menu biasa ya, Mil.” kataku pada Mila, salah satu pelayan di sana.

“Siap, Pak Bos.” jawaban itu membuatku menggeleng geli. Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku dipanggil Pak Bos. Tidak hanya Mila yang memanggilku seperti itu, tapi semua pelayan yang mengenalku juga.

“Silakan dinikmati, Pak Bos. Kalau kurang minta tambah juga boleh.”

Aku terkekeh saja. Mengibaskan tangan dengan gaya arogan yang membuat Mila mencibirku dengan kata ‘bos sombong’ yang meluncur dari bibirnya.

Kupikir acara makan siangku akan berlangsung tenang. Tapi saat melihat sepasang kekasih yang baru masuk ke restoran ini, aku tahu ketenanganku akan berantakan. Kuharap Lily tidak melihatku. Tetapi nyatanya, kini dia sudah berjalan ke arah mejaku sambil menarik tangan Vino.

“Mas, Lily sama Vino gabung ya.”

Apa yang bisa kulakukan selain mengangguk? Mereka memesan makanan. Aku sibuk dengan makananku sendiri yang kini terlihat tidak enak.

“Mas Arkan masih kerja di bagian HRD, Mas?” lelaki itu bertanya padaku.

Aku tersenyum tipis dan mengangguk. Aku tidak tahu karena apa, tetapi semenjak aku mengenal Vino, aku merasa dia selalu ingin lebih unggul daripadaku. Mungkin dia merasa tersaingi.

“Sekarang aku sudah naik jabatan, Mas. Jadi Direktur Keuangan.”

See?

Aku tersenyum lagi, “Selamat kalau begitu.”

“Mas Arkan sakit?” Lily menatapku serius, “Lily lihat Mas gak semangat banget hari ini.”

Pesanan mereka yang datang membuat jawabanku tertahan di lidah.

“Mas cuma kelelahan, Ly.”

“Sayang, sini aku ambil mentimun sama wortelnya, kamu kan enggak suka.” Vino terlihat sangat berusaha untuk mengambil perhatian Lily.

Lily yang mengucapkan terimakasih dengan nada lembut disertai senyuman tipis membuat hatiku sakit. Perhatian yang diberikannya kepada Vino membuat jemariku terkepal. Padahal, yang selalu ada untuknya adalah aku. Mengapa lelaki lain yang malah mendapatkan hatinya? Padahal, Vino itu brengsek. Mengapa masih saja dia yang memenangkan hati Lily?

Mengapa bukan aku?

***

MENCINTAI SEPUPUKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang