Kebenaran?!

63 8 1
                                    


Umurku sudah 17 tahun tapi entah mengapa aku selalu di asingkan oleh keluargaku. Contohnya saja saat ulang tahun Ratna, adikku.

Ibu menyuruhku tetap berada di dalam rumah, dan tak boleh keluar, bahkan menampakkan wajah dari celah pintu pun tak boleh. Kata kata yang menyakitkan dari ibu selalu terngiang dikepala ku.

“kamu ingat, kamu jangan pernah keluar dari dalam kamarmu ini. Jika aku melihatmu mengeluarkan kepala dari celah pintu sedikitpun maka aku tak akan segan untuk mengusirmu.”

Saat itu aku hanya dapat menunduk, tak berani menatap ibu yang berdiri di depanku. Di dalam kamarku yang kecil dan sangat beda dengan kamar Ratna.

Aku heran akan sikap ibu yang seperti itu, sebenarnya aku ini anaknya atau bukan?. Aku bahkan sampai meng-klaim diriku sendiri, kalau aku ini memang bukan anak mereka.

Bukan hanya ibu yang segan berkata kasar padaku, ayah juga sering memarahiku tanpa sebab yang jelas.

“Dasar anak kurang ajar, tak tau saja gelas yang kau jatuhkan itu memiliki harga yang mahal, bodoh”ucapnya kasar saat melihatku memecahkan gelas tak sengaja.

Aku sedih, aku ingin seperti teman-temanku yang lain. Punya keluarga yang bahagia, harmonis, perhatian dan menyayangi anak-anaknya tanpa pilih kasih.

Tapi di lain sisi aku bersyukur Ratna tak bersikap seenaknya padaku bahkan di antara keluargaku yang lain, Ratnalah yang paling baik padaku. Dialah adikku, bintang kecil penerang jiwaku.

“Rein, Reina kau melamun lagi ya?” seketika aku tersadar kala ada seseorang yang mengguncang bahuku sambil terus memanggil namaku.

“Ah iya, Vin ada apa?” tanyaku balik saat sudah tersadar akan dunia nyata.

“kau melamunkan apa lagi Rein, pasti tentang orang tuamu ya?,” ucapan Vina sahabatku sekaligus teman sebangkuku tepat sasaran dan tak bisa membuatku mengelak, memang benar apa yang di katakan Vina.

“Rein sudahlah jangan terlalu kau pikirkan, doakan saja semoga mereka berubah,” ucapnya lagi.

Tes

Tes

Tes

Tanpa kusadari air mataku mengalir dengan sendirinya, setelah mendengar perkataan Vina, aku mengulang ucapan Vina dalam hati.

Doakan saja semoga mereka berubah,


bahkan setiap kali aku shalat aku selalu mendoakan hal yang sama untuk mereka agar bisa mengakuiku dan bisa mencintaiku layaknya orang tua yang mencintai anaknya diluaran sana, atau lebih singkatnya mereka menyayangiku sama seperti mereka menyayangi Ratna.

“Eh kok kamu  malah nangis, Maafkan aku Rein aku tak bermaksud membuatmu tambah sedih,” ucap Vina samar di telingaku karena entah mengapa pikiranku jadi melayang tak jelas seperti ini.

Aku merasakan Vina menarikku lalu memelukku dengan erat dan berkata, “Maafkan aku Rein, tapi bila tangismu ini bisa meringankan rasa sakit di hatimu, lepaskan saja. Aku selalu ada untukmu,”

CERPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang