⛔Warning!🚫
Mungkin akan membuat readers merasakan perasaan yang tak dapat didefinisikan pada akhirnya. Jadi jangan judge penulisnya, oke😒😒😒
.
.
.
.Sesak, gelap, lembab.
Ya, itulah yang kini aku rasakan saat tubuhku mulai pulih. Mungkin benar, aku menyukai tiga suasana itu. Karena aku memang dilahirkan dilingkungan itu.
Namun dengan keadaanku sekarang, sepertinya tidak cukup baik menghadapi suasana yang sudah mendarah daging ini.
Perlahan kucoba membuka mataku. Ya, tentu saja, Nihil! Yang kulihat hanyalah kegelapan. Aku mencoba bergerak dalam kesadaran yang belum sepenuhnya kembali pada tubuhku, ditambah suasana gelap yang melingkupiku tentu saja membuatku semakin sulit mengenali dimana aku sekarang.
Aku merasakan air mengalir dibawah kakiku cukup deras, namun air itu tak banyak. Mungkin jika aku berdiri, hanya akan membasahi sampai ke lututku yang aku yakini kini banyak sekali goresan disana. Belum lagi kondisinya bak tulang tanpa daging, sangat kurus. Menyisakan kulit tipis kemerahan. Darimana aku mengetahuinya? Hei! Aku juga pernah merasakan hidup ditengah cahaya! Tentu saja aku bisa melihat rupa diriku bagaimana! Kalian terlalu meremehkanku!
Aku tahu, keadaaanku sekarang jauh dari kata baik. Tapi yang paling bisa aku pastikan, kini aku duduk bersandar pada sesuatu yang melengkung, dengan air yang mengalir dibawah kakiku. Aku mencoba mengingat kejadian apa yang menimpaku. Entahlah, mungkin saja ceritanya begini....
Beberapa waktu sebelum aku kehilangan kesadaranku, aku juga tidak tahu kapan pastinya itu. Yang jelas saat itu, hujan deras melanda kawasan tempat tinggalku. Aku, ibuku, dan kelima adikku berlari menuju rumah karena saat itu kami sedang berada di daerah perumahan padat penduduk. Saking padatnya, kami susah menggerakkan kaki karena tempatnya yang sempit dan saling berdempetan. Aku bergerak secapat yang aku bisa, memipin kelima adikku. sementara ibu menjadi pengawas dibagian paling belakang.
Sesekali aku kaget dengan suara petir serta silaunya kilat yang mengiris perih indra penglihatanku. Adik-adikku ketakutan dengan semua susara gaduh itu, tapi aku mencoba menenangkan mereka. Meski kutahu, ketakutan yang mereka rasakan, juga aku rasakan.
Kakiku terhenti, saat kulihat sosok besar yang menatap tajam kearahku, matanya nyalang mengawasi kami yang tiba-tiba berhenti dipersimpangan jalan. Aku menatap takut kearahnya, kemudian melirik ibuku menanyakan apa yang harus kami lakukan selanjutnya. Sementara itu, adik-adikku meringkuk takut dibelakangku.
Ibu berusaha maju, mencoba menghadang jika sosok itu mengejar kami. Aku tahu! Sosok itulah yang telah membunuh ayahku, tepat saat ibuku mengandung kelima adikku. Dia jugalah yang telah membunuh kakak-kakakku.
Ibu memerintahkanku mencari celah. Aku dapatkan celah itu! Di jalan ini ternyata ada celah sempit berongga! Kami semua pasti bisa masuk ke sana. Aku menarik adik-adikku kesana. Sementara ibukku menghadang sosok itu. Sosok itu mulai merespon gerakkan kami. Sepertinya dia tidak ingin membiarkan kami lepas.
Aku dan adik-adikku berlari sekuat tenaga, kemudian disusul oleh ibukku. Kubiarkan kelima adikku masuk terlebih dahulu. Kemudian aku menyusul. Saat ibuku juga hendak masuk, kaki sosok besar itu hampir mengenai tubuh ibuku. Tapi beruntung, ibuku lebih dulu masuk kedalam celah itu.
Kami berjalan mencari arah untuk pulang. Namun, baru saja kami sampai disana, teman, kerabat, semua orang berlari kian kemari sembari berteriak 'banjir'. Apa yang mereka teriakkan mulai muncul dari tikungan jalan yang baru saja kami lawati. Tentu saja tak sempat bagi kami untuk kembali ke rumah, lebih baik menyelamatkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
CERPEN
Fiksi RemajaSemua yang ada di dalam cerpen ini adalah karya dari masing-masing penulis kita. Lagi pada belajar, tapi tetap berusaha yang terbaik loh ya.. so, jangan lupa baca. Salam ~SastrawanLangit