Confession

479 92 50
                                    

"Seonghwa."

Yang dipanggil hanya berdengung. Tangannya yang satu masih sibuk mengipas-ngipaskan kipas anyamannya sedangkan yang lain mengusap-usap perutnya pelan. Kakinya yang satu ditumpangkan di atas kakinya yang lain. Ia tidak bersusah-susah untuk membuka matanya.

Sedangkan tamu tak diundangnya itu mulai kesal. Cuaca sedang panas dan suasana hatinya sedang tidak baik. Untung saja Seonghwa adalah temannya sejak lama, jadi ia bisa memukul bokong Seonghwa seenaknya.

"Yah!" akhirnya ia membuka matanya lebar-lebar. "Hah... ternyata manusia ini.."

Wooyoung mendecih lalu menarik tangan Seonghwa, memaksanya duduk di atas dipan. "Duduk, duduk! Aku capek jalan dari desa kemari."

Seonghwa mengerang namun tetap mendudukkan dirinya. Wooyoung duduk di sebelahnya dan mengambil alih kipasnya.


"Eric kenapa diskors tiga hari?"

Seonghwa mengambil kipasnya, "tahu dari mana?"

"Dia cerita, pas aku nanya kenapa dia gak ke sekolah pagi ini."

Seonghwa mendecak sebal saat Wooyoung mengambil kipasnya lagi. Ia memilih untuk mengibas-ngibaskan kausnya. "Berantem. Dia ninju anak kepala sekolah sampe giginya patah."

Wooyoung melebarkan matanya, "kok bisa?!"

Seonghwa tersenyum tipis dan mengambil kipasnya lagi. Angin mengembus pelan dari kedua belah bibirnya, "sebenernya masalah biasa, soal nilai rapor. Terus, things got personal between them dan yaa... adu jotos. Berdasarkan cerita Eric sih, si Dongju, temennya, yang mulai duluan. Tapi yaa...

"Tau gak, Young? Dia ngingetin aku sama seseorang."

Wooyoung tertawa kecil lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Dasar..."

Seonghwa menghela napasnya lalu menatap ke seberang bukit. Dedaunan hijau melindungi mereka dari terik surya. Bayu yang sedari tadi ditunggui akhirnya meniup mereka, sejenak menghilangkan gerah. Alunan deru sungai terdengar dari kejauhan. Jerit serangga dan burung-burung dari kedalaman hutan turut menambah keriuhan.




"Young, rindu kota gak?"

"Hng?" Wooyoung mendongakkan kepalanya, menatap Seonghwa, yang menatap kosong ke depan. Lamunannya terpecah, menghentikan kakinya yang memainkan genangan air di bawah.

"Rindu hidup kita dulu di kota gak?"

Wooyoung menghela napasnya berat, "gak tahu. Aku rindu temen-temen dulu. Tapi aku... gak mau ke kota lagi, kalau bisa."

"Yang dulu itu?"

"Bukan," bantah Wooyoung. "Aku..

Wooyoung rasa belum saatnya ia membocorkan kegiatannya seharian kemarin.

"Aku gak mau kecewa melihat keadaan Seoul sekarang."

Bohong.

Wooyoung sudah kecewa melihat kotanya sekarang.

Tidak ada yang membaik.

Manusianya masih bejat. Jelas-jelas ada cincin melingkar di jari mereka, masih saja mencari kupu-kupu lain. Semakin banyak submisif yang harus menjadi pelarian.

Udaranya semakin menyesakkan. Tidak mungkin untuk tidak terbatuk setiap sepuluh menit saat berada di jalan raya.

Bahkan Taehyung mengingatkannya untuk berhati-hati dalam membeli makanan di sana. Virus, katanya. Menyebar dari makanan dan minuman pabrikan, menurut konspirasi yang dibaca Taehyung di waktu istirahat mereka. Obatnya cukup mahal, ingatnya saat ia membaca katalog apotek yang disodorkan Taehyung padanya.

Arsenal [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang