Potongan 2

9 2 1
                                    

"biarlah! mana mungkin kita tidak menanggapinya dengan serius?"

seketika tubuhku merinding mendengarnya. suasana yang tercipta disekitarnya benar-benar mengerikan. namun entah kenapa orang dibelakangnya justru terlihat begitu khawatir.

"Ryo! hentikan ini!" sahut orang itu.

mataku membulat sempurna. rambutnya tak lagi berwarna pirang, melainkan berangsur-angsur berubah menjadi hitam legam. dia benar-benar tidak memedulikan ucapan temannya sendiri.

cepat-cepat kuraih salah satu pipa didekatku. karena kurang fokus, kakiku salah memijak pipa dan tergelincir. hampir saja aku terjatuh. aku menghela napas perlahan, mencoba kembali mengatur detak jantungku yang berdetak tak keruan.

"disana rupanya!"

dalam sekejap, aku merasa seperti terhantam sesuatu yang juga tak terlihat. dan dengan mudahnya aku kehilangan keseimbangan dan meluncur jatuh menghantam tanah becek dibawahku. lantas tubuhku kembali terlihat karena kehilangan kendali. kutatap tangannya yang teracung kearahku, meringis.

"apa kau pikir kau bisa lari dariku dengan mudahnya, seperti yang selalu kau lakukan selama ini?"

aku berusaha bangkit berdiri tegak, meringis, "apa sih, yang kau bicarakan?"

"Shiki!" 

saat kusadari, orang yang satu lagi sudah berada dibelakangku, dan mendorong pelan punggungku. kakiku bergerak hendak menjauh, tapi terlambat.

tiba-tiba aku tak bisa menggerakkan kakiku, mati rasa. lantas aku terhuyung pelan dan terduduk. dua orang itu berjalan mendekatiku. aku mendongak menatap jerih mereka yang  berdiri didepanku. aku langsung menundukkan pandanganku.

mereka menyeramkaann!!!

orang yang—awalnya—berambut pirang membungkuk, menyejajarkan tinggi denganku, "kamu, gak bisa jalan?" 

"eh?"

aku terkejut. rambutnya sudah berubah menjadi hitam legam, tapi suaranya kembali seperti saat pertama kali bertemu. suara yang tenang—kelewat tenangnya, tidak terlalu berat, bahkan terdengar seperti suara remaja biasa, terdengar polos. padahal saat dia sedang menyerangku, suara terdengar lebih berat dan terasa seperti dingin mengancam. 

dan temannya, dia terlihat seperti orang cerdas yang sering muncul di film-film. kacamata yang dikenakannya memantulkan cahaya seperti mata kucing, membuat wajahnya terlihat seperti hanya memiliki sebuah kacamata saja. gerakannya lebih sering kaku, seperti jarang bertemu orang lain yang belum dikenalnya. terlihat tidak begitu kuat. tapi saat membantu temannya menyerangku, gerakannya begitu cepat sampai-sampai mataku tak dapat mengikutinya.

mereka benar-benar misterius, meragukan, dan terlihat tidak berbahaya—yang justru menjadikan mereka sangat berbahaya!

seharusnya aku waspada dari awal. seharusnya kudengarkan dengan baik kata-kata Michi!

 ●        ●        ●

"kau tahu? para petugas negara itu, mulai hari ini akan berhenti mengambil pajak palsu dari kita!"

"benarkah? apa mereka ketahuan oleh atasan mereka? atau mereka benar-benar takut dengan serangan tersembunyiku?" aku menebak dengan semangat.

"..."

"sebenarnya, itu aku juga tidak tahu. tapi kurasa, sekilas bisa kulihat 2 orang berambut hitam yang terlihat berbeda diantara segerombolan petugas negara, di lokasi yang biasa kau gunakan," ungkapnya terlihat ragu.

"apa mereka orang baik?" tanyaku.

"entahlah, aku tidak yakin. tapi setiap aku mengingatnya, dadaku selalu terasa sesak. rasanya ingin sekali menangis." Michi tertunduk.

aku membayangkan kedua orang yang dibicarakannya. dari nadanya saat berbicara, kurasa dia tidak menceritakan semua yang dia lihat. 

aku menatap Michi yang masih tertunduk didepanku. kurasa, dua orang itu ada hubungannya dengan kemampuanku.

 ●        ●        ●

saat itu aku terlalu tenggelam dalam pikiranku sendiri. tanpa sadar, aku tidak mendengarkan Michi yang kembali melanjutkan pembicaraan. yang kuingat adalah saat terakhir sarapan itu, dia pamit duluan ke kamarnya, bilang kalau dia sudah selesai makan sambil menunjuk piringnya yang kosong dengan matanya. dan aku melanjutkan makan sendirian, dengan pikiran yang melayang-layang.

aku menunduk, tidak menjawab pertanyaan orang itu. rambut perakku yang sudah basah kuyup karena hujan menutupi wajahku.

"Shiki, gimana nih?"

"salah sendiri, tidak mengikuti rencanaku. rencanaku itu, seratus persen mutlak!"

"ya, karena kamu pintar, sekarang bantu aku.."

"tak sudi, membantu orang yang telah menghancurkan rencanaku."

aku membiarkan mereka ribut sendiri. lagipula, aku bisa merasakan kakiku berangsur-angsur pulih. setelah tenagaku cukup, aku akan kabur selagi mereka tidak memperhatikanku. Michi pasti sudah menungguku sedari-tadi. 

"Ryo! kau adalah orang terbodoh yang pernah kutemui!"

"dan kau, Shiki, adalah orang ter-culun yang pernah kutemui!"

aku mengangkat kepalaku. aku segera berdiri dan berjalan perlahan menjauh dari mereka setelah beberapa lama membujuk kakiku untuk kembali bergerak. entah kenapa, rasanya kakkiku seperti tidak bertenaga sama sekali. apa sebelumnya kakiku membentur tanah sedemikian keras?

"eits!"

tiba-tiba tubuhku kembali terbanting ketanah, menghentikan langkahku. untuk sesaat, aku terdiam. butuh beberapa detik agar aku bisa mengerti apa yang terjadi. aku menoleh kebelakang, dan mendapati orang yang sebelumnya menjatuhkanku sedang mengacungkan tangannya. dan lagi-lagi, wajahnya tidak menunjukkan usaha sama sekali. seakan tidak melakukan apapun.

"lagi-lagi, kau meremehkanku," katanya.

aku bangkit berdiri dan memasang kuda-kuda, bersiap untuk pertarungan ronde kedua. aku berkonsentrasi agar bisa mengendalikan genangan air disekitarku. kutatap orang didepanku. lagi-lagi dia terlihat santai. 

dialah yang meremehkanku!

aku mengangkat butir-butir air dari genangan dan membentuknya menjadi tombak air. lantas aku mengepalkan tanganku dan tombak air milikku segera melesat cepat kearahnya. orang itu tak terlihat seperti ingin menghindar atau menangkis seranganku.

sebelum aku menyadarinya, orang itu telah mengibas pelan tangannya. dan dalam sekejap tombak airku telah hancur, dan kembali menjadi genangan air biasa. 

aku terdiam. sehebat itukah, orang-orang ini?


Ther(na)lityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang