potongan 8

4 0 0
                                    

kesalahan.. besar?

kutatap ia yang sedang beranjak berdiri dari kursi goyangnya dan mendekati Shiro. matanya memicing, berusaha melihat lebih jelas dengan mata tuanya.

ia terdengar menghembuskan napas pelan, antara beberapa maksud bergabung disana. ia menjulurkan tangan kanannya dan menyentuh luka bakar Shiro. dalam sekejap, luka itu memudar dan akhirnya sembuh total. meskipun Shiro masih belum bangun, setidaknya dia tidak akan merasa sakit lagi.

aku tersenyum senang dan menoleh kearah Ryosuke dan Ishiki. namun, senyum itu segera menghilang begitu saja. 

mereka... tidak tersenyum?

aku tersentak. bahkan seorang Ryosuke yang selalu bersikap tenang sedang mengepalkan tangannya erat-erat. wajah Ishiki terlihat kusut. ada gurat kesedihan disana. dengan cepat, aku menyimpulkan apa yang sedang terjadi di depan mataku. 

"aku bisa mengobati lukanya. cukup sampai disitu. tanpa pemiliknya, aku sudah tidak bisa berbuat lebih." nenek itu berdiri dan menatap tubuh Shiro.

aku terdiam, juga menatap Shiro yang tergeletak. dia jadi begini karena kecerobohanku. benar-benar seperti di film aksi, aku tersenyum masam.

tanpa bisa kucegah, air mataku akhirnya mengalir dengan mudahnya. aku tertunduk lesu, menangis dalam diam.

Shiro! aku 'kan orang asing! aku baru saja bergabung! bahkan aku masih sempat meragukanmu! kenapa kamu melindungiku? padahal 'kan, bisa saja seorang pengkhianat! bagaimana kamu bisa melindungiku begitu mudahnya?!

air mataku mengalir semakin deras. Shiro hanya seekor harimau, dia hewan, bukan manusia. apa semua yang berusaha melindungiku harus berakhir seperti ini? 

tangisku mulai mereda. menangis takkan mengubah keadaan. aku harus menerima kenyataan. di setiap cerita, selalu ada sesuatu di baliknya, bukan?

aku kembali menegakkan kepalaku, tersenyum kecil,  berusaha untuk tidak menangis lagi. namun belum sedetik, wajahku kembali terlipat. nenek itu menatapku sedemikian rupa dari kursi goyangnya. dan sepertinya dia sudah menatapku dalam waktu yang cukup lama.

cepat-cepat aku kembali tersenyum kecil, "eh, ada apa denganku, nek?"

nenek itu segera berdiri dan meninggalkan kursi goyangnya. dia terlihat cukup tergesa-gesa. lantas ia mendekatkan wajahnya dengan wajahku. tapi karena kaget, kakiku bergerak menekuk lutut dengan sendirinya. saat tersadar, aku sudah terduduk didepan kaki nenek itu.

kupikir nenek itu terburu-buru, sehingga tak menyadari apa yang sedang dilakukannya. jadi saat aku jatuh, dia akan sadar. tapi ternyata, nenek itu malah ikut duduk dan kembali menatap wajahku daripada kembali sadar. 

karena tak suka, tanganku refleks mendorong tubuh nenek itu agar menjauh. aku tak peduli. apapun yang dilakukan nenek itu, aku tidak menyukainya.

"Yu-Yuki!" Ishiki terlihat keberatan.

"tidak apa, aku juga salah. seharusnya aku bisa menyadarinya. dia 'kan gadis yang dibesarkan oleh kehidupan luar yang keras. jadi pastilah dia terbiasa untuk selalu waspada," nenek itu bangkit berdiri dan menepuk-nepuk pakaian lusuhnya yang kotor karena debu di lantai.

kemudian tangannya ia julurkan kepadaku, "Shidori. panggil saja nenek."

aku menerima juluran tangannya dan kembali berdiri. aku juga menepuk-nepuk pakaianku, debu mengepul ke udara.

"uhuk-uhuk! nek, sepertinya nenek harus membersihkan gubuk, sekali-kali," Ryosuke mencoba bergurau meskipun masih terdengar nada sedih.

"jadi, Yuki, ya? sebelumnya maafkan nenek karena telah lancang," nenek menunduk padaku—sepertinya mengabaikan Ryosuke—dan membuatku merasa canggung.

"ah, tidak apa, nek... tapi, eh, tidak perlu, eh, ah, menunduk padaku..." aku mengerak-gerakkan tanganku tidak jelas, salah tingkah.

aku melirik Ryosuke yang tertawa cekikikan dibelakangku. 

"kamu pemilik Shiro?" tanyanya tiba-tiba, sembari menatapku tajam.

"eh? i-itu tidak mungkin, aku baru pertama kalinya bertemu dengan Shiro."

"mana milikmu mirip."

aku berseru pelan, meringis. nenek baru saja menekan keras pergelangan tanganku.

"loh?" nenek terlihat agak terkejut.

Ryosuke buru-buru bersuara, "a-ah, kalo itu.. kami belum menco—"

"kebiasaan!" sahut nenek.

"a-a-ah, itu, nenek..." aku menunjuk pergelangan tanganku yang masih ditekan oleh nenek.

"oh! maaf,"

aku mengusap-usap pergelanganku. nenek itu beralih berjalan kearah Ryosuke sembari menggerutu tidak jelas. dan yang dihampiri justru terlihat cukup segan dengannya, tidak berani menatap nenek secara langsung.

aku balas tertawa cekikikan melihat Ryosuke menunduk saat diomeli oleh nenek. terlihat jelas dia tak berani menyanggah nenek. sesaat kulihat Ryosuke melirik kearahku, seakan berkata, jangan coba-coba...

aku menghiraukannya, tetap tertawa cekikikan. lalu senyumku kembali pudar dari wajahku. tiba-tiba perasaan yang campur aduk kembali muncul. persis seperti tadi malam, muncul seketika. dikepalaku teringat Shiro yang sedang melindungiku. 

aku menunduk, "nenek, apa..."

omelan nenek terhenti, membuat suasana gubuk kembali sunyi.

"apa Shiro bisa tetap hidup?" aku bertanya pelan, ragu apakah aku benar-benar ingin mendengar jawabannya.

nenek tersenyum lembut, "itu tergantung padamu, nak Yuki.."

aku mengangkat kepala, mengernyitkan dahi.

●        ●        ●

aku menatap pintu batu yang menjulang tinggi didepanku. terlihat lambang-lambang yang belum pernah kulihat terukir disana. ragu-ragu kuangkat kedua tanganku kedepan. apa yang dikatakan nenek benar? kurasa aku akan melihatnya sendiri didalam,

"apa aku benar-benar ingin mengetahuinya?"


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 07, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ther(na)lityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang